Menu
in ,

DPR Minta Pemerintah Beri Bansos Agar PPN Tetap Naik

DPR Minta Pemerintah Beri Bansos

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah membuat ramuan kebijakan yang matang apabila ingin tetap implementasi tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Andreas menyarankan, kajian itu bisa berupa skema pemberian bantuan sosial (bansos) dan insentif terhadap komoditas strategis. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan kondisi ekonomi dalam negeri maupun dunia yang diantaranya diakibatkan oleh COVID-19 dan perseteruan antara Rusia dan Ukraina.

“Kami bukan (meminta) menunda. Tapi dengan kondisi yang sekarang ini, dengan melonjaknya harga pangan, kenaikan harga energi itu perlu diperhatikan masalah daya beli masyarakat. Pemerintah harus memberikan, istilahnya ramuan kebijakan. Tidak hanya dari fiskal saja, misalnya bantalan sosial, contoh pemberian THR (tunjangan hari raya) untuk rakyat. Untuk komoditi-komoditi sifatnya strategis seperti BBM (bahan bakar minyak), bahan-bahan pokok impor, bisa saja PPN ditanggung pemerintah, sampai ekonomi membaik. Supaya kebijakan PPN yang sudah ditetapkan 11 persen bisa dijalankan,” jelas Andreas kepada Pajak.com, melalui sambungan telepon, (15/3).

Ia menggarisbawahi, DPR tetap menghormati apa yang sudah diputuskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), salah satunya mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen mulai April 2022.

“Menaikkan PPN menjadi 11 persen itu telah dilakukan pembahasan yang sangat mendalam. Sehingga bukan menunda, tapi kami minta pemerintah melakukan kajian kalau itu diterapkan, dampaknya terhadap terhadap inflasi dan daya beli masyarakat seperti apa. Karena bagaimana pun pertumbuhan ekonomi kita ini ditopang oleh konsumsi, sehingga jangan sampai mengganggu (pertumbuhan ekonomi) dan memberikan tambahan beban kepada masyarakat. Kalaupun sudah ada bansos dan dianggap kurang, pemerintah bisa menambah. Artinya, tidak mendistorsi sistem, kan,” jelas Andreas.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan ini menegaskan, kenaikan PPN menjadi 11 persen penting dilakukan, mengingat tahun 2022 merupakan batas akhir pemerintah melonggarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) lebih dari 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Kemudian pada APBN tahun anggaran 2023 defisit harus berada di bawah 3 persen terhadap PDB. Artinya, pemerintah disadari memang perlu menggenjot penerimaan pajak agar defisit bisa ditekan. Makanya, karena tahun ini batas akhir, butuh waktu transisi bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tahun ini, salah satunya PPN,” ungkap Andreas.

Ia menilai, kenaikan tarif PPN diyakini menjadi salah satu kebijakan yang paling berpotensi meningkatkan penerimaan pajak. Sebagai gambaran, pada tahun 2021, realisasi penerimaan PPN (10 persen) senilai Rp 551 triliun. Apabila tarif PPN pada tahun ini naik sebanyak 1 persen, maka ada potensi tambahan penerimaan pajak atas konsumsi sekitar Rp 55,1 triliun.

“Nah, kenaikan PPN menjadi 11 persen itu akan berdampak pada indikator makro ekonomi lainnya, bisa ke pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah. Tax ratio juga kemungkinan di bawah proyeksi,” kata Andreas.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version