Menu
in ,

DJP Tidak Lagi Siapkan Fasilitas Pembetulan SPT Tahunan

Pajak.com, Jakarta – Staf Khusus Menteri Keuangan (Stafsus Menkeu), Yustinus Prastowo menegaskan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak lagi menyediakan fasilitas pembetulan harta di Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Hal ini berlaku sejak adanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Dengan terbit dan berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, maka Wajib Pajak tidak boleh membetulkan SPT,” jelas Pras saat berbincang dalam acara Power Lunch yang disiarkan secara virtual, pada (24/12).

Ia lantas memberi contoh, pelaporan harta warisan yang tidak bisa lagi dibetulkan dalam SPT tahunan. Dengan demikian, harta warisan yang belum dilaporkan juga wajib ikut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau dikenal dengan tax amnesty jilid II.

“Selama ini warisan yang belum dilaporkan saat mengisi SPT tahunan bisa melakukan pembetulan, setelah UU berlaku tidak ada lagi fasilitas sarana Wajib Pajak yang belum lapor warisan di SPT (untuk pembetulan). Mau tidak mau (warisan) di-declare sebagai harta di SPT dan ikut Program Pengungkapan Sukarela,” jelas Pras.

Dengan demikian, harta warisan yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan akan dikenakan tarif yang berlaku di PPS. Prastowo menyebutkan, tarif final 6 persen–11 persen untuk warisan yang diterima hingga tahun 2015. Kemudian, tarif 12 persen–18 persen untuk warisan yang diperoleh pada tahun 2016–2020.

“Konsekuensinya bayar pajak final sebagai harta yang diungkapkan di Program Pengungkapan Sukarela,” tambah Pras.

Selain itu, ia menekankan, Wajib Pajak (WP) yang sedang dalam pemeriksaan terkait perpajakan tidak bisa ikut PPS. Sedangkan aturan tax amnesty jilid I (2016–2017), WP sedang dalam pemeriksaan pajak bisa dihentikan jika ikut program pengampunan pajak.

“Dalam program PPS ini beberapa hal dibedakan dengan tax amnesty. Misalnya, perbedaan yang Pertama, kalau dulu ketika Wajib Pajak sedang diperiksa otomatis berhenti ketika dia ikut tax amnesty. Kali ini tidak. Jadi mesti diselesaikan dulu pemeriksaannya dan membayar pajak sejumlah yang ditentukan sesuai dengan undang-undang, termasuk yang sedang diperiksa bukti permulaan maupun penyidikan,” jelas Pras

Kedua, yaitu perbedaan tarif yang diberikan bagi WP. Pada tax amnesty jilid I tarif yang diberikan 2 persen–5 persen, sedangkan tax amnesty jilid II (PPS) adalah 6 persen–18 persen yang dibagi dalam dua kebijakan.

“Lalu yang membedakan tarif yang lebih tinggi. Tujuannya untuk memberikan fairness bagi Wajib Pajak yang sudah ikut tax amnesty,” kata Pras.

Di sisi lain, WP yang tidak ikut PPS akan dikenakan sanksi berat, yakni 200 persen atau dua kali lipat dari jumlah harta yang belum dilaporkan.

“Kita optimistis (banyak WP ikut PPS) karena pas tax amnesty 2016 kita belum punya akses keterbukaan informasi dan hanya andalkan laporan sepihak dari Wajib Pajak. Saat ini kita punya,” kata Pras.

Ia memastikan, setelah tax amnesty jilid I, DJP memiliki data untuk melacak WP yang berupaya menghindar dari kewajiban perpajakan melalui program Automatic Exchange of Information (AEoI) yang dinisiasi oleh G20/OECD. Melalui konsensus itu Indonesia menerima data informasi keuangan secara otomatis dengan negara lain untuk kepentingan perpajakan.

“Setelah tax amnesty 2016 pemerintah punya akses makin luas ke sektor keuangan dan sistem mumpuni sehingga profiling Wajib Pajak lebih kuat,” jelas Pras.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version