in ,

Bukan Rotasi Biasa, Penunjukan Bimo Jadi Dirjen Pajak Buka Babak Baru Reformasi

FOTO : IST

Bukan Rotasi Biasa, Penunjukan Bimo Jadi Dirjen Pajak Buka Babak Baru Reformasi

Pajak.comJakarta  Penunjukan Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) oleh Presiden Prabowo Subianto dinilai sebagai sinyal tegas dimulainya era baru penyempurnaan reformasi perpajakan nasional. Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan, keputusan tersebut bukan sekadar rotasi teknokratis, melainkan bagian dari agenda fiskal jangka panjang yang memerlukan keberanian politik dan kepemimpinan strategis.

“Posisi strategis yang diemban Bimo Wijayanto dengan mandat khusus dari Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan reformasi sistem perpajakan agar lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas tinggi, sekaligus mengamankan penerimaan negara ini merupakan tantangan yang tidak ringan,” ujar Ariawan dalam keterangan resminya yang diterima Pajak.com, Jumat (23/5/2025).

Bimo dilantik pada ini (23/3/2025) oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menggantikan Suryo Utomo. Pelantikan ini berlangsung di tengah ekspektasi tinggi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran yang menargetkan rasio pajak sebesar 11,52–15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2029. Bahkan, terdapat aspirasi untuk mendorong rasio tersebut hingga 16 persen atau lebih jauh lagi, mencapai 23 persen. Padahal, saat ini rasio pajak Indonesia masih stagnan di kisaran 9–10 persen.

Baca Juga  Faktur Pajak Gabungan: Kemudahan dan Efisiensi bagi PKP

“Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa pencapaian target tersebut tidak hanya memerlukan perbaikan bertahap, tetapi juga perubahan fundamental,” tegas Ariawan.

Ia menjelaskan bahwa rendahnya rasio pajak Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor mendasar. Salah satunya adalah rendahnya kepatuhan sukarela Wajib Pajak, termasuk banyaknya pelaporan penghasilan yang tidak lengkap. Selain itu, dominasi sektor informal juga menjadi penghambat utama. Sekitar 60 persen tenaga kerja dan hingga 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) berada dalam sektor ekonomi bawah tanah (underground economy), yang menurut Ariawan berpotensi menyebabkan kehilangan penerimaan hingga Rp208 triliun setiap tahun.

Ariawan menjelaskan, tantangan reformasi perpajakan bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek struktural. Untuk itu, keberhasilan Bimo sangat bergantung pada kemampuannya menutup kesenjangan antara target ambisius dan realitas struktural.

Ia pun menyarankan pendekatan holistik yang melibatkan formalisasi sektor informal, peningkatan kepercayaan publik, dan perluasan basis pajak.

Baca Juga  Sri Mulyani Proyeksikan Penerimaan Pajak Bakal Tumbuh 7,5 Persen pada 2025

“Kemauan politik untuk memberlakukan reformasi yang mungkin tidak populer tetapi diperlukan akan menjadi faktor penentu,” kata Ariawan.

Di tengah sederet tantangan tersebut, Ariawan menilai latar belakang teknokratis Bimo bisa menjadi kekuatan tersendiri. Bimo dikenal memiliki keahlian dalam pemodelan fraud dan analisis kepatuhan, serta pengalaman lintas kementerian seperti di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kemaritiman. Kombinasi ini, lanjut Ariawan, mampu menjembatani kebutuhan fiskal dan dukungan terhadap iklim investasi nasional.

“Penunjukan ini merupakan langkah yang disengaja dan strategis oleh Presiden Prabowo,” imbuhnya.

Ariawan berharap, DJP di bawah kepemimpinan Bimo dapat menjalankan pendekatan yang lebih terintegrasi. Artinya, kebijakan pajak tidak hanya dijadikan instrumen fiskal, melainkan juga sebagai alat untuk mendorong iklim investasi nasional.

“Ke depan, DJP harus membuat kebijakan dan mengambil peran proaktif dalam berkolaborasi dengan lembaga yang mengampu bidang investasi seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengidentifikasi basis pajak baru yang muncul dari investasi, mengoptimalkan insentif pajak, dan memastikan bahwa pertumbuhan investasi secara efektif berkontribusi pada peningkatan penerimaan negara,” jelasnya.

Baca Juga  Trump Getok Tarif Impor 32 Persen untuk Indonesia, APINDO Ungkap Dampak untuk Sektor Industri

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga April 2025, penerimaan pajak mencapai Rp557,1 triliun atau 25,4 persen dari target APBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Capaian ini turun 10,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, rasio pajak 2024 hanya mencapai 10,08 persen, bahkan lebih rendah dari 2023 yang tercatat 10,31 persen.

Ariawan menilai, perbaikan rasio pajak membutuhkan perbaikan dalam persepsi publik dan tata kelola internal otoritas pajak. Menurutnya, hubungan yang sehat antara Wajib Pajak dan DJP sangat penting untuk membangun kepatuhan jangka panjang. Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi terhadap insentif fiskal yang ada, seperti tax holiday, tax allowance, dan insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP).

“Tantangan bagi DJP adalah memastikan bahwa insentif ini bukan hanya biaya bagi negara, tetapi investasi strategis yang menghasilkan pendapatan pajak yang lebih besar di masa depan melalui aktivitas ekonomi yang diperluas,” tutup Ariawan.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *