in ,

BKF Proyeksi Pajak Minimum Global Tambah Penerimaan Hingga Rp8,8 T

BKF Pajak Minimum Global
FOTO: Aprilia Hariani

BKF Proyeksi Pajak Minimum Global Tambah Penerimaan Hingga Rp8,8 T

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia resmi memberlakukan pajak minimum global dengan tarif efektif 15 persen melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Kepada Pajak.com, Analis Pajak Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Melani Dwi Astuti mengungkapkan bahwa pajak minimum global diproyeksi akan menambah penerimaan negara hingga Rp8,8 triliun.

”(Proyeksi potensinya), Rp3,8-Rp8,8 triliun,” ungkap Melani melalui pesan singkat, (20/1).

Dalam acara ’The 12th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar’ yang diselenggarakan International Fiscal Association (IFA) pada 10 Desember 2024 lalu, Melani mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia meyakini pengenaan pajak minimum global dapat memberi dampak positif bagi negara.

Ia juga menyebut, infrastruktur regulasi yang memayungi pengenaan pajak minimum global termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Lalu, pada 31 Desember 2024, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional.

Baca Juga  Prognosis Manfaat Penerapan Pilar Dua untuk Indonesia

Ketentuan Pajak Minimum Global

Dalam rilisnya, BKF menegaskan bahwa PMK Nomor 136 Tahun 2024 berlaku bagi Wajib Pajak badan yang merupakan bagian dari grup PMN dengan omzet konsolidasi global sedikitnya 750 juta euro. Wajib Pajak ini dikenakan pajak minimum global dengan tarif 15 persen mulai tahun pajak 2025.

Dalam Bab III Pasal 4 PMK Nomor 136 Tahun 2024, tarif efektif 15 persen dikenakan berdasarkan income inclusion rule (IIR), domestic minimum top-up tax (DMTT), dan undertaxed payment rule (UTPR).

Melani menjelaskan, IIR adalah ketentuan yang mengharuskan induk dari suatu grup multinasional enterprise (MNE) atau bagian dari grup MNE untuk membayar pajak tambahan (top-up) atas anak usahanya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15 persen.

Sementara, QDMTT merupakan skema di mana yurisdiksi sumber dapat langsung mengenakan pajak atas penghasilan-penghasilan yang kurang dipajaki—sebelum yurisdiksi domisili mengenakan top-up tax terhadap penghasilan tersebut.

Kemudian, UPTR adalah ketentuan yang berlaku dalam hal ketentuan IIR tidak dapat diterapkan, karena parent entity berada di low-tax jurisdiction atau tidak menerapkan IIR dalam ketentuan domestiknya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *