Menu
in ,

Aturan Pelaksanaan PPN 11 Persen Masih Disusun

Aturan Pelaksanaan PPN 11 Persen

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Dirjen Pajak Suryo Utomo mengungkap, pemerintah masih menyusun aturan pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Di sisi lain, pemerintah memastikan kenaikan PPN 11 persen itu tetap berlaku mulai 1 April 2022.

“Kita sedang susun, diimplementasikan, PPS (Program Pengungkapan Sukarela) dahulukan dan PPh (Pajak Penghasilan), PPN, dan KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) selesaikan berurutan. Aturan tersebut berupa PP (peraturan pemerintah). Ada sekitar 40 PMK (peraturan menteri keuangan) yang masih disusun kementerian. Jadi ada beberapa yang selesai dan dalam proses harmonisasi kemarin,” ungkap Suryo dalam Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta), yang dikutip Pajak.com (30/3).

Hal senada juga diungkapkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor. Ia memastikan, DJP akan menyosialisasikan aturan turunan itu kepada masyarakat, bila telah rampung.

“Kami belum dapat informasinya (aturan turunan PPN). Kita masih menunggu aturan pelaksanaan atau aturan turunan dari UU HPP tersebut,” kata Neil kepada Pajak.commelalui pesan singkat, (30/3).

Kendati demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, kenaikan PPN 11 persen tetap diberlakukan mulai 1 April 2022.

“Tidak akan ada penundaan PPN karena kita menggunakannya untuk kembali ke masyarakat. Pondasinya tetap harus kita disiapkan. Karena kalau enggak, kita akan kehilangan opportunity,” jelas Sri Mulyani.

Ia menekankan, kenaikan PPN bukan untuk semakin memberatkan masyarakat, melainkan demi membangun infrastruktur yang lebih baik sehingga dapat dinikmati oleh publik.

“Jadi jangan bilang, ‘saya enggak perlu jalan tol, saya enggak makan jalan tol, dan lain-lain’. Padahal, banyak sekali instrumen pajak masuk ke masyarakat. Anda pakai listrik, LPG (liquefied petroleum gas), naik motor dan ojek itu ada elemen subsidi. Oleh karena itu, elemen pajak yang kuat untuk menjaga rakyat sendiri, bukan untuk menyusahkan rakyat,” kata Sri Mulyani.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menambahkan, dampak kenaikan tarif PPN tidak signifikan terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.

“Inflasi masih target pemerintah 2 sampai 4 persen sudah termasuk semua harga terpantau saat ini dan kenaikan PPN dari 10 jadi 11 persen. Kami memastikan kebijakan yang sudah direncanakan dengan baik bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dampaknya terhadap masyarakat tetap terjaga,” jelas Febrio.

Ia menyebutkan, ada lima alasan urgensi kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen. Pertama, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bekerja sangat keras selama pandemi COVID-19, sehingga perlu tambahan penerimaan untuk menyokong belanja di tahun mendatang. Salah satunya, potensi penerimaan pajak yang bersumber dari PPN.

Kedua, membangun fondasi pajak yang kuat untuk membiayai pembangunan nasional. Ketiga, PPN merupakan pajak yang dampak penyimpangan atau distorsinya paling kecil pada ekonomi dibandingkan jenis pajak lainnya. Keempat, tarif PPN Indonesia berada di bawah rata-rata tarif negara lain. BKF Kemenkeu mencatat, rata-rata tarif PPN global adalah 15 persen. Rata-rata tarif PPN negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah 19 persen, sementara rata-rata tarif PPN negara BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan South Africa) adalah 17 persen.

Kelima, kesinambungan penerimaan pajak dan peningkatan rasio pajak untuk mencapai tujuan nasional melalui belanja publik yang semakin efisien, efektif, dan akuntabel.

“Reformasi perpajakan ini tentunya telah dirumuskan secara matang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat,” tambah Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version