in ,

Warisan: Hak yang Diteruskan, Pajak yang Dikenakan?

Warisan Dikenakan Pajak
FOTO: IST

Warisan: Hak yang Diteruskan, Pajak yang Dikenakan?

Warisan secara historis dipandang sebagai bentuk kasih sayang yang paling tulus—sebuah rumah, sebidang tanah, atau tabungan hasil kerja keras seumur hidup. Namun di balik warisan, terdapat isu yang jarang dibahas: apakah negara juga berhak atas sebagian darinya? Ketika seseorang meninggal dan meninggalkan harta kekayaannya, tentu muncul pertanyaan: apakah warisan dikenakan pajak? Dan jika iya, apakah hal itu adil?

Warisan dalam Perspektif Hukum Perpajakan

Di Indonesia, warisan secara tegas bukan merupakan objek pajak penghasilan. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang menyatakan bahwa warisan tidak termasuk objek pajak. Ketentuan ini tetap berlaku dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021, karena tidak ada perubahan signifikan pada bagian tersebut.

Artinya, ketika seseorang wafat dan mewariskan harta kepada ahli waris, negara tidak serta-merta menarik Pajak Penghasilan (PPh) atas harta tersebut.

Namun, pembebasan ini hanya berlaku pada penerimaan warisan secara langsung. Dalam kenyataannya, warisan tetap bisa dikenai pajak lain, seperti:

  • Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas properti warisan, sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  • PPh atas pendapatan yang dihasilkan dari harta warisan, seperti sewa rumah atau keuntungan dari usaha keluarga.
  • Bahkan hibah antar ahli waris juga bisa dikenai PPh jika tidak memenuhi persyaratan tertentu.
Baca Juga  Trump Getok Tarif Impor 32 Persen untuk Indonesia, APINDO Ungkap Dampak untuk Sektor Industri

Dengan demikian, meskipun warisan tidak dikenai pajak saat diterima, tidak berarti warisan tersebut sepenuhnya bebas pajak. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan penting: apakah ini merupakan bentuk pajak berganda yang terselubung?

Pajak Berganda: Realitas atau Kesalahpahaman?

Salah satu argumen yang sering terdengar adalah: “Warisan itu kan sudah dipajaki sebelumnya—kenapa harus dipajaki lagi saat diwariskan?” Secara moral memang terasa tidak adil. Namun secara teknis, otoritas pajak melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

Pajak dikenakan bukan pada kekayaan yang sama dua kali, tetapi pada peristiwa hukum atau ekonomi yang berbeda. Misalnya, saat seseorang membeli rumah, pajak dikenakan atas penghasilan yang digunakan untuk membeli. Tapi ketika rumah itu diwariskan dan hak kepemilikan dialihkan, BPHTB dikenakan bukan atas nilai lama rumah, tapi atas perpindahan hak milik secara hukum.

Dalam konteks hukum pajak, ini bukanlah pajak berganda karena:

  • Objek pajaknya berbeda (penghasilan vs perolehan hak),
  • Subjek pajaknya berbeda (pewaris vs ahli waris),
  • Peristiwanya pun berbeda (penghasilan vs penerimaan warisan).

Namun dalam praktiknya, penjelasan ini sulit diterima oleh masyarakat, terutama jika warisan diterima dalam masa duka atau jika bentuk warisannya tidak likuid. Di sinilah pentingnya sensitivitas sistem pajak dan edukasi publik.

Baca Juga  Perluas Pasar Ekspor, Perusahaan Pengerajin Logam di Serang Kantongi Izin Kawasan Berikat 

Alternatif Solusi untuk Meringankan Beban Pajak Warisan

Masalah utama dari pajak warisan adalah ketersediaan dana tunai bagi ahli waris, khususnya jika harta yang diwariskan berupa properti atau usaha. Pajak yang terlalu tinggi dapat memaksa ahli waris menjual aset yang sebenarnya ingin mereka pertahankan.

Beberapa solusi alternatif yang bisa dipertimbangkan antara lain:

  • Pembayaran pajak secara bertahap: Memberi waktu kepada ahli waris untuk mencicil pajak warisan bisa membantu meringankan beban keuangan, terutama jika warisannya berupa rumah atau usaha keluarga.
  • Penangguhan atau pembebasan pajak untuk warisan bernilai kecil: Menetapkan ambang batas tertentu di mana warisan kecil tidak dikenai pajak atau dikenai tarif lebih ringan.
  • Pengurangan tarif pajak untuk usaha keluarga: Memberikan insentif atau tarif khusus untuk warisan berupa usaha keluarga agar kelangsungan usaha tetap terjaga dan tidak runtuh karena pajak yang tinggi.

Kebijakan seperti ini dapat mengurangi kesan bahwa pajak warisan hanyalah beban tambahan di saat duka, sekaligus mendorong keberlanjutan usaha keluarga yang diwariskan.

Pajak Warisan dan Keadilan Antar Generasi

Pajak warisan bukan sekadar persoalan ekonomi. Kebijakan ini juga menyentuh aspek keadilan antargenerasi. Generasi penerus bisa merasa terbebani jika pajak yang harus dibayar terlalu besar, terutama jika nilai warisannya tinggi.

Baca Juga  Selamat Hari Bhayangkara ke-79, Polri Jaga Keamanan Negara dan Penerimaan Pajak

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah pajak warisan adil bagi generasi muda? Apakah mereka merasa berhak menikmati hasil jerih payah orang tua mereka tanpa harus dikenai pajak besar?

Di satu sisi, pajak warisan bisa menjadi alat untuk mengurangi ketimpangan antar generasi lewat redistribusi kekayaan. Namun, bila kebijakannya dirancang dengan buruk, justru bisa membebani ahli waris secara tidak proporsional—apalagi jika mereka tidak memiliki dana untuk membayar pajak tanpa menjual aset warisan.

Maka, kebijakan pajak warisan harus adil bukan hanya antar individu, tapi juga antar generasi. Ini dapat dicapai dengan membuat kebijakan yang mempertimbangkan keseimbangan antara kelangsungan ekonomi keluarga dan distribusi kekayaan yang adil.

Penutup: Antara Hak, Pajak, dan Keadilan

Pajak warisan adalah isu yang emosional—ia menyentuh keluarga, perasaan, dan kematian. Tapi justru karena itu, ia tidak boleh dikesampingkan dari percakapan publik. Sistem pajak yang adil tidak lahir dari bisikan, tapi dari keberanian menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit seperti ini.

Warisan memang hak yang diturunkan. Tapi ketika negara turut menagih, kita patut bertanya: apa sebenarnya yang sedang ditagih?

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *