in ,

Pajak dan Pungutan Dalam Rangka Impor

Pajak dan Pungutan Dalam Rangka Impor
FOTO: IST

Pajak dan Pungutan Dalam Rangka Impor

Semasa pandemi COVID-19 lalu, pemerintah memberikan cukup banyak insentif perpajakan atas kegiatan impor barang, diantaranya untuk impor alat kesehatan maupun barang konsumsi lainnya untuk mendongkrak aktivitas perekonomian. Aktivitas impor memang menjadi komponen penting bagi perekonomian negara, terutama untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara mandiri dan didapat di dalam negeri. Setiap tahunnya, aktivitas impor terus bertumbuh dan makin mudah dipahami masyarakat dengan majunya teknologi saat ini. Apa saya pajak dan pungutan dalam rangka impor.

Aktivitas impor pun tak lepas dari pengenaan pajak di negeri ini. Berbeda dengan aktivitas ekspor yang notabene diberikan tarif PPN 0% untuk mendukung lestarinya produk dalam negeri, aktivitas impor dikenai berbagai macam pungutan dan pajak yang dinamakan pajak dalam rangka impor (PDRI). Berbagai macam pungutan inilah yang menyebabkan barang – barang impor yang nantinya dijual oleh importir di dalam negeri ini menjadi jauh lebih mahal dibanding barang – barang dalam negeri lainnya, selain dari memang mahalnya harga dasar barang tersebut.

Apa saja yang termasuk dalam pungutan atas impor?

1. Pungutan Bea dan Cukai

Atas pemasukan dari luar wilayah pabean ke dalam wilayah pabean, akan dikenakan pungutan berupa bea masuk yang dilakukan oleh DJBC. Sebagaimana definisi impor yakni kegiatan memasukkan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean, bea masuk adalah pungutan yang dikenakan atas pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean.

Bea masuk ini terdiri dari 2 macam tarif, yakni tarif advalorem dan tarif spesifik. Sebagian besar komoditas impor dihitung dengan tarif advalorum yakni pungutan bea masuk berdasar presentase tarif tertentu dari harga barang dengan tarif tertinggi 40%. Sedangkan sebagian kecil komoditas lainnya menggunakan tarif spesifik bea masuk per satuan barang, misalnya Rp450/Kg.

Baca Juga  PNS Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Terapkan Skema Tabungan Pajak

Untuk bea masuk dengan tarif advalorem, nantinya tarif dikalikan dengan nilai pabean atau CIF, yang terdiri dari cost/free on board (FOB) atau harga barang berdasarkan nilai transaksi, insurance atau asuransi, dan freight atau ongkos kirim dikalikan dengan nilai dasar perhitungan bea masuk.

Contoh Soal dan Perhitungan

PT. A mengimpor sebuah barang dengan harga USD50.000. Asuransi yang dikenakan atas barang tersebut adalah sebesar 5% dan ongkos kirim yang ditanggung adalah USD5.000. Tarif bea masuk yang berlaku adalah 10% dan nilai dasar perhitungan bea masuk adalah Rp110. Kurs USD yang berlaku saat impor adalah Rp11.000. Berapa bea masuk yang harus dibayarkan?

Bea masuk       = Tarif x (CIF x Nilai Dasar)

= 10% x (USD57.500 x  Rp110)

= 10% x ((57.500 x Rp11.000) x Rp110)

= 10% x (632.500.000 x 110)

= 10% x 69.575.000.000

= Rp6.957.500.000

Selain bea masuk umum/dasar, terdapat pula bea masuk tambahan (BMT) untuk barang – barang tertentu atau kondisi impor tertentu. Seperti namanya, BMT sifatnya akan menambah pungutan, bukan menggantikan bea masuk umum yang telah dipungut.

2. PDRI

Berbeda dengan pungutan bea masuk yang memiliki 2 macam tarif, PDRI hanya memiliki 1 macam tarif yakni tarif dalam bentuk persen. Kemudian PDRI juga dikenakan atas nilai impor, bukan nilai pabean. Nilai impor adalah CIF ditambah dengan bea masuk. PDRI terdiri dari PPN dan/atau PPnBM serta PPh 22 impor.

Baca Juga  DJP dan Australia Sepakat Tingkatkan Deteksi Potensi Kewajiban Pajak Kripto

a. PPN dan/atau PPnBM

Diatur pada UU nomor 42 tahun 2009 tentang PPN yang diubah terakhir dengan UU nomor 7 tahun 2021 tentang HPP, atas impor barang dan/atau jasa kena pajak dikenakan tarif 11% dari dasar pengenaan pajak (DPP), yakni nilai impor barang tersebut.

Sedangkan PPnBM dikenakan hanya atas impor barang berwujud yang tergolong mewah sebagaimana diatur pula pada UU PPN. Kriteria barang mewah yang disebutkan pada pasal 5 UU PPN diantaranya adalah:

– Bukan kebutuhan pokok;

– Dikonsumsi masyarakat tertentu;

– Umumnya dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi;

– Dikonsumsi untk menunjukkan status atau kelas sosial.

Adapun untuk tarif PPnBM bervariasi tergantung dari jenis barang mewah yang diimpor dengan tarif mulai dari 10% hingga 200%.

Apabila PPN impor tidak menjadi bagian dari harga dasar perolehan barang (cost) karena nantinya dapat dikreditkan dengan PPN yang dipungut atas penyerahan barang impor tersebut di dalam negeri (bila ada), PPnBM menjadi bagian dari cost barang impor tersebut. Sehingga ketika nantinya dijual kembali di dalam negeri, harganya dapat naik 2 hingga 3 kali lipat dari harga impor barang tersebut.

b. PPh pasal 22 Impor

PPh pasal 22 merupakan pajak yang cukup luas pengenaannya. Sesuai dengan pasal 22 UU PPh, PPh pasal 22 merupakan pungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan – badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, serta Wajib Pajak badan tertentu atas penjualan barang sangat mewah.

Baca Juga  Bulukumba Diganjar BI Atas Pembayaran Pajak Nontunai yang Melejit

PPh pasal 22 impor diatur lebih lanjut pada peraturan menteri keuangan (PMK) nomor 34 tahun 2017 yang terakhir diubah dengan PMK nomor 41 tahun 2022. Adapun pemungut PPh 22 impor adalah bank devisa ataupun DJBC. PPh pasal 22 impor memiliki 6 macam pengenaan tarif sebagai berikut:

– 10% dari nilai impor, untuk barang yang tercantum pada lampiran I atau tabel A. PMK nomor 41 tahun 2022;

– 7,5% dari nilai impor, untuk barang yang tercantum pada lampiran II atau tabel B. PMK nomor 41 tahun 2022;

– 0,5% dari nilai impor, untuk barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu yang tercantum pada lampiran III atau tabel C. PMK nomor 41 tahun 2022 dengan menggunakan Angka Pengenal Impor (API);

– 2,5% dari nilai impor, untuk barang yang tidak tercantum dalam lampiran PMK nomor 41 tahun 2022 dan menggunakan API;

– 7,5% dari nilai impor, untuk barang yang tidak tercantum dalam lampiran PMK nomor 41 tahun 2022 yang tidak menggunakan API;

– 7,5% dari harga jual lelang, untuk barang yang tidak dikuasai. Barang tidak dikuasai ini bisa jadi karena importir tidak bisa menuntaskan persyaratan administrasi atau dokumen sehingga barang tersebut tidak memiliki pemilik.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *