in ,

Merger dengan Nilai Buku dalam PMK-81/2024 dan PER-8/PJ/2025

Merger dengan Nilai Buku
FOTO: IST

Merger dengan Nilai Buku dalam PMK-81/2024 dan PER-8/PJ/2025

Merger dengan menggunakan nilai buku merupakan salah satu strategi restrukturisasi yang banyak diminati di Indonesia, terutama karena potensi penghematan pajak yang signifikan. Daya tarik ini muncul karena Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan memperlakukan keuntungan dari pengalihan harta—termasuk akibat merger, peleburan, pemisahan, atau pengambilalihan usaha—sebagai penghasilan yang dikenai pajak. Oleh karena itu, penggunaan nilai buku memungkinkan pengalihan harta dilakukan tanpa pengakuan laba atau rugi, sehingga tidak menimbulkan kewajiban pajak tambahan atas capital gain yang seharusnya timbul.

Penggunaan nilai buku dalam transaksi merger di Indonesia telah memiliki dasar hukum sejak perubahan Pasal 10 ayat (3) UU PPh melalui UU No. 10 Tahun 1994. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta dalam rangka restrukturisasi—seperti merger, peleburan, atau pemekaran usaha—pada dasarnya harus menggunakan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

Saat ini, ketentuan penggunaan nilai buku dalam pengalihan harta untuk keperluan restrukturisasi usaha diatur dalam PMK 81/2024, yang mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025. Peraturan ini memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menyetujui permohonan penggunaan nilai buku oleh Wajib Pajak. Selanjutnya, melalui KEP-146/PJ/2018, kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP tempat Wajib Pajak terdaftar. Untuk mendukung implementasinya, PER-8/PJ/2025 yang diterbitkan pada 21 Mei 2025 mengatur ketentuan teknis pelaksanaan, termasuk mekanisme pengajuan permohonan secara elektronik melalui sistem Coretax dan persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak.

Terdapat perubahan signifikan dalam ketentuan terkait Surat Keterangan Fiskal (SKF). Sebelumnya, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c PMK 52/PMK.010/2017 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK 56/PMK.010/2021, Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan untuk memperoleh SKF dari Direktur Jenderal Pajak sebagai syarat pengajuan penggunaan nilai buku. Namun, dalam PMK 81/2024 Pasal 393 ayat (1) huruf c, ketentuan tersebut disederhanakan menjadi cukup memenuhi persyaratan untuk diberikan SKF, sesuai dengan tata cara pemberian yang berlaku. Artinya, Wajib Pajak tidak lagi perlu melampirkan SKF secara fisik dalam permohonan, selama telah memenuhi kriteria administratif yang ditentukan. Perubahan ini secara substansial meringankan beban administratif dan meningkatkan efisiensi proses permohonan.

Baca Juga  Kurs Pajak 11 – 17 Juni 2025

Persyaratan Substantif yang Ketat

Persetujuan penggunaan nilai buku dalam transaksi merger tidak diberikan secara otomatis, melainkan melalui evaluasi menyeluruh terhadap aspek-aspek substantif yang mencerminkan adanya genuine business purpose.

Berdasarkan ketentuan Pasal 393 ayat (1) PMK 81/2024 dan Pasal 38 ayat (1) PER-8/PJ/2025, Wajib Pajak yang melakukan atau menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha dengan menggunakan nilai buku wajib memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat enam bulan sejak tanggal efektif restrukturisasi, disertai penjelasan mengenai alasan dan tujuan dilakukannya restrukturisasi tersebut. Kedua, Wajib Pajak harus memenuhi business purpose test, yaitu membuktikan bahwa restrukturisasi dilakukan bukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak, melainkan didorong oleh motif ekonomi yang jelas, serta melampirkan surat pernyataan yang mendukung. Ketiga, setiap pihak yang terlibat dalam restrukturisasi wajib memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 393 ayat (2) PMK 81/2024, pemenuhan business purpose test dalam penggunaan nilai buku untuk restrukturisasi usaha ditentukan oleh sejumlah kriteria substantif. Pertama, restrukturisasi harus bertujuan utama untuk menciptakan sinergi usaha dan memperkuat struktur permodalan, bukan semata-mata untuk penghindaran pajak. Kedua, kegiatan usaha pihak yang mengalihkan harta harus tetap aktif hingga tanggal efektif restrukturisasi. Ketiga, kegiatan usaha yang dialihkan wajib dilanjutkan oleh penerima harta paling sedikit selama lima tahun sejak tanggal efektif restrukturisasi. Keempat, kegiatan usaha penerima harta juga harus tetap berlangsung minimal lima tahun setelah restrukturisasi. Terakhir, aset tetap yang diterima tidak boleh dialihkan kembali dalam jangka waktu dua tahun, kecuali apabila pengalihan tersebut dilakukan untuk tujuan efisiensi perusahaan.

Baca Juga  Taxco Solution: PER-8/2025 Permudah Kepatuhan Pajak Investor dan Perusahaan Multinasional di Era Coretax, Ini Alasannya!

Lebih lanjut, Pasal 392 ayat (3) huruf a PMK 81/2024 mengatur bahwa penggabungan usaha dalam negeri yang dapat menggunakan nilai buku harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Pertama, penggabungan dilakukan antara dua atau lebih Wajib Pajak Badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham. Kedua, seluruh harta dan kewajiban dari entitas yang digabungkan harus dialihkan kepada satu Wajib Pajak Badan yang tidak memiliki sisa rugi fiskal atau memiliki sisa rugi fiskal yang lebih kecil dibandingkan pihak lainnya. Ketiga, Wajib Pajak Badan yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut wajib dibubarkan setelah proses penggabungan efektif. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa restrukturisasi dilakukan secara substansial dan tidak disalahgunakan untuk tujuan penghindaran pajak.

Selain memenuhi persyaratan substantif, Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penggunaan nilai buku juga wajib melampirkan daftar dokumen pendukung sebagaimana diatur dalam Pasal 58 huruf b PER-8/PJ/2025, dengan rincian lengkap tercantum dalam Lampiran huruf B angka IV.2 peraturan tersebut. Seiring diberlakukannya PER-8/PJ/2025, seluruh proses pengajuan kini wajib dilakukan secara elektronik melalui sistem Coretax DJP. Oleh karena itu, perusahaan perlu memastikan kesiapan dokumen secara menyeluruh serta pemahaman yang memadai atas sistem administrasi perpajakan terbaru, guna memastikan proses pengajuan berjalan lancar tanpa hambatan teknis maupun substantif.

Untuk menghindari penolakan atas permohonan penggunaan nilai buku dalam transaksi merger, terdapat beberapa hal krusial yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak. Pertama, ketidaksesuaian terhadap persyaratan dasar menjadi penyebab utama penolakan, khususnya apabila perusahaan penerima pengalihan harta memiliki sisa rugi fiskal yang lebih besar dibandingkan pihak yang mengalihkan. Ketentuan ini bertujuan memastikan bahwa restrukturisasi dilakukan untuk memperkuat kondisi usaha, bukan sekadar memanfaatkan kerugian fiskal. Kedua, ketidaklengkapan dokumen dan persyaratan formal sebagaimana diatur dalam PMK 81/2024 dan PER-8/PJ/2025 dapat menjadi kendala administratif yang signifikan. Kelalaian dalam menyiapkan dokumen sesuai ketentuan dapat menyebabkan penundaan atau bahkan penolakan permohonan. Ketiga, kegagalan dalam memenuhi business purpose test merupakan aspek substantif yang dievaluasi secara ketat oleh DJP. Merger harus memiliki tujuan bisnis yang jelas, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi, bukan semata-mata untuk penghindaran pajak. Evaluasi ini mencakup penilaian atas keberlanjutan usaha, sinergi operasional, serta substansi ekonomi dari restrukturisasi yang dilakukan.

Baca Juga  Maskapai Ini Tawarkan Tiket Lebih Murah, PPN Cuma 5 Persen Selama Libur Sekolah

Apabila permohonan penggunaan nilai buku dalam transaksi merger ditolak oleh DJP, perusahaan akan menghadapi konsekuensi finansial yang signifikan. Dalam hal ini, pengalihan harta wajib dinilai berdasarkan harga pasar, sehingga selisih antara nilai pasar dan nilai buku akan dianggap sebagai keuntungan (goodwill) yang dikenai pajak penghasilan. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh, capital gain yang timbul dari pengalihan harta—termasuk dalam konteks merger—diperlakukan sebagai penghasilan biasa yang dikenakan pajak.

Dengan demikian, penolakan atas permohonan penggunaan nilai buku secara efektif mengubah transaksi merger yang semula bersifat tax-neutral menjadi transaksi yang memicu beban pajak tambahan, sehingga mengurangi efektivitas dan efisiensi dari restrukturisasi yang direncanakan.

 

Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *