in ,

Ketahui Ketentuan DER untuk Keperluan Fiskal

Ketahui Ketentuan DER
FOTO: IST

Ketahui Ketentuan DER untuk Keperluan Fiskal

Perhitungan pajak terutang bisa dibilang rumit bagi banyak orang, terutama untuk perhitungan pajak badan. Ketahui ketentuan DER untuk keperluan fiskal. Terdapat banyak istilah dan pertimbangan dalam menghitung pajak penghasilan badan, terutama kaitannya dengan rekonsiliasi fiskal.

Rekonsiliasi fiskal turut mempertimbangkan aspek – aspek keuangan, salah satunya adalah rasio utang dan modal yang biasa disebut Debt to Equity Ratio. Bagi Anda yang telah bergelut di dunia keuangan tentu cukup familiar dengan rasio ini. Ketahui ketentuan DER untuk keperluan Fiskal, lalu apa sebenarnya Debt to Equity Ratio ini?

Debt to Equity Ratio (DER) adalah perbandingan antara jumlah utang dan modal suatu perusahaan. Dalam dunia keuangan, DER merupakan salah satu indikator penting untuk melihat kondisi kesehatan keuangan suatu perusahaan dan juga menunjukkan tingkat kemandirian finansial perusahaan.

Semakin rendah nilai DER, maka iklim usaha perusahaan cenderung semakin bagus. Jumlah utang dan modal yang digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan setidaknya harus berada dalam jumlah yang proporsional.

Dalam dunia bisnis, utang biasanya ditujukan untuk membantu kinerja operasional perusahaan. Perusahaan biasanya tidak bisa hanya mengandalkan modal untuk menjalankan usahanya, karena jumlahnya yang terbatas.

Namun jumlah utang yang dimiliki perusahaan juga dapat meningkatkan risiko perusahaan, karena dalam hutang terdapat beban – beban yang harus ditanggung, seperti bunga pinjaman dan juga denda jatuh tempo. Inilah makna dari DER secara umum supaya dapat membantu para pemangku kepentingan dalam menilai suatu perusahaan.

Baca Juga  Data Pendukung yang Diperlukan saat Ajukan Keberatan Penetapan Tarif Kepabeanan

Dari segi perpajakan, DER pertama kali diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984. Dalam peraturan ini diatur mengenai penentuan perbandingan antara utang dan modal suatu perusahaan untuk keperluan pengenaan pajak penghasilan. Penetapan besarnya perbandingan utang dan modal yang wajar menurut peraturan ini adalah 3:1.

Peraturan ini kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015. Pada peraturan ini, ditetapkan bahwa perbandingan utang dan modal yang wajar untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan adalah 4:1. Perubahan ini dilakukan karena perbandingan sebelumnya, yakni 3:1 dikhawatirkan akan menghambat perkembangan dunia usaha.

Dalam menentukan DER, utang dan modal yang dimaksud dan diperhitungkan adalah:

  • Rata – rata saldo utang atau modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan.
  • Rata – rata saldo utang atau modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.

Lalu bagaimana implementasi dari perbandingan ini? Perbandingan DER ini berkaitan dengan pembebanan bunga pinjaman yang dimiliki oleh perusahaan. Apabila rasio DER melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK 169/2015, maka bunga pinjaman yang dapat dibebankan harus disesuaikan.

Misalnya apabila ditemukan bahwa rasio DER perusahaan A adalah sebesar 5:1, maka pembebanan bunga pinjaman secara fiskal hanya dapat dibebankan sebesar 4/5 dari bunga pinjaman yang dibebankan secara komersial, dengan asumsi bunga pinjaman telah sesuai ketentuan pasal 6 dan 9 UU PPh.

Pembebanan biaya bunga yang berlebihan biasanya dilakukan oleh perusahan – perusahaan besar dan perusahaan multinasional untuk mengurangi beban pajak. Bunga yang berlebihan ini biasanya berasal dari utang atas perusahaan terafiliasi, yang pada lingkup global dapat melibatkan berbagai negara.

Baca Juga  Sri Mulyani: Penerimaan Pajak Hingga 15 Maret 2024 Terkontraksi Penurunan Harga Komoditas

Pembayaran bunga yang berlebihan biasanya dilakukan kepada pihak terafiliasi yang berada di negara yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak yang rendah atas penghasilan bunga.

Perbandingan DER ini juga dapat menjadi acuan untuk menilai kewajaran dan kelaziman usaha dari sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan yang hutangnya terlalu banyak dapat menunjukkan indikasi ketidakwajaran dan ketidaksehatan operasional perusahaan, dan bisa jadi merupakan modal terselubung.

Hutang – hutang yang dimiliki oleh perusahaan dapat ditelusuri lebih lanjut untuk kemudian ditetapkan apakah telah sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (3) kaitannya dengan hubungan istimewa.

OECD dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan 4 tidak merekomendasikan penggunaan DER dalam menentukan kewajaran pembebanan bunga pinjaman, tetapi lebih merekomendasikan sebuah skema limitasi bunga yang disebut dengan pendekatan “Earning Stripping Rule” (ESR).

Pendekatan ini menggunakan sebuah rasio atau presentase biaya bunga terhadap EBITDA atau laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi sebagai acuan. Pada ESR, biaya bunga yang tidak dapat dibebankan atau melebihi rasio yang ditetapkan dapat dibebankan ke tahun berikutnya.

Jika dibandingkan dengan ESR, DER kurang mencerminkan realitas kondisi ekonomi perusahaan, karena beban bunga pinjaman erat kaitannya dengan pendapatan. Namun jika dibandingkan dengan ESR pula, DER memiliki skema penghitungan yang relatif lebih sederhana.

Supaya DER dapat tetap relevan untuk masa kini dan menyesuaikan dengan semakin berkembangnya upaya – upaya transfer pricing dan tax planning, maka sebaiknya pemerintah menetapkan range suku bunga acuan tiap tahun untuk bunga pinjaman bagi Wajib Pajak.

Baca Juga  Terbitkan Faktur Pajak Fiktif, Pemilik Perusahaan Pupuk Diserahkan ke Kejati Sumut 

Hal ini penting, karena WP dapat dengan sengaja memperkecil rasio utang dan modal, namun memiliki pinjaman dengan suku bunga yang sangat tinggi pada pihak terafiliasi. Tindakan ini akan membuat WP membebankan bunga pinjaman dengan sangat besar dengan tetap memenuhi ketentuan DER.

Sebenarnya dalam pasal 18 ayat 1 UU PPh sebagaimana terakhir diubah dengan UU HPP, disebutkan bahwa menteri keuangan berwenang mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan fiskal.

Dalam penjelasan ayat tersebut, metode yang dapat digunakan untuk menentukan batasan tersebut adalah DER, ESR, atau metode lainnya. Namun hingga kini, metode DER lah yang paling lazim digunakan untuk keperluan fiskal. Hal ini juga dikarenakan DER telah diatur dalam peraturan teknis PMK 169/2015.

Supaya tidak kebingungan dalam memenuhi kewajiban perpajakan badan Anda, pelajari berbagai ketentuan perpajakan yang telah ditetapkan oleh DJP. Bila Anda mempelajari ketentuan dengan baik, maka segalanya tidak akan terasa rumit. Orang bijak taat pajak!

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *