Menu
in ,

Kerusakan Lingkungan, Perusahaan Bayar Pajak Karbon

Kerusakan Lingkungan, Perusahaan Bayar Pajak Karbon

FOTO: IST

UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak fokus pada pengenaan pajak terhadap produksi karbon, terutama pada sektor energi. Sektor energi, seperti produsen batu bara, gas bumi, dan bahan bakar minyak (BBM) menjadi beberapa penghasil emisi karbon terbanyak, maka pemerintah perlu mencermati produksi limbah karbon dengan dikeluarkannya peraturan baru. Penerapan pajak karbon akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi dan biaya tambahan yang ditanggung konsumen. Tentunya produsen baik sektor hulu dan hilir pun akan terdampak kenaikan biaya, diterapkannya pajak karbon akan membebankan biaya atas kerusakan lingkungan kepada produsen dan konsumen.

Tujuan diterapkan pajak karbon adalah untuk memberi insentif pada perusahaan penghasil emisi untuk memproduksi bahan ramah lingkungan dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan, serta mendorong masyarakat untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT). Upaya ini diharapkan dapat mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Kementerian ESDM telah menetapkan tiga skema dasar pengenaan pajak (DPP) atas pajak karbon di sektor energi yang rencananya akan diterapkan mulai 1 April 2022. Periode 2022-2024 adalah periode krusial penerapan mekanisme dan sistem pajak karbon, utamanya pada sektor pembangkit listrik terbatas pada PLTU yang berbasis batu bara. Setelahnya, pada periode 2025 dan seterusnya adalah periode penerapan pajak dan perdagangan karbon secara menyeluruh.

Tiga draf DPP tersebut antara lain 2 dolar AS per ton (Rp30/kg CO2e), 5 dolar AS per ton (Rp 75/kg CO2e), dan 10 dolar AS per ton (Rp 150/kg CO2e). Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah menerapkan pajak karbon, dapat dikatakan bahwa DPP Indonesia cukup rendah. Sebagai perbandingannya, Uni Eropa membebankan pajak sebesar 16 euro per ton CO2e dan Swedia sebesar 137 dolar AS per ton CO2e.

Dengan kalkulasi dari DPP pajak karbon sebesar 1 dolar AS per ton CO2e, negara akan menerima setidaknya Rp76,49 miliar. Peningkatan penerimaan negara hasil dari pajak karbon akan dimaksimalkan untuk pengembangan EBT sebagai wujud dari keseriusan pemerintah demi merealisasikan komitmen mengurangi emisi karbon. Pendapatan ini kelak akan digunakan untuk mengompensasi kerusakan lingkungan serta sebagai modal pembangunan dan kegiatan ekonomi berkelanjutan.

Pajak karbon akan dipungut dengan skema cap and tax, di mana akan ada cap (batasan) atas emisi yang dihasilkan. Misalnya, apabila PLTU menggunakan 1 kilogram batu bara untuk memproduksi 1 kwh listrik, sedangkan cap yang diterapkan pemerintah adalah 0,9 kilogram, maka hanya 0,1 kilogram batu bara yang akan dikenakan pajak karbon. Pembebanan pajak karbon akan diterapkan secara berkala, mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Kebijakan pajak karbon juga menerapkan cap and trade, yaitu perusahaan yang menghasilkan emisi tambahan wajib membeli dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah cap (batasan). Namun, bagi perusahaan yang menghasilkan emisi melebihi cap tetapi tidak bisa melakukan perdagangan karbon, maka selisih emisi yang ada akan dikenakan pajak.

Selain tiga skema DPP, cap and tax, dan cap and trade, masih ada kebijakan yang sedang digodok oleh pemerintah yaitu Energy Transition Mechanism (ETM). ETM adalah inisiatif kolaborasi antarnegara yang dikembangkan dalam kerja sama negara-negara berkembang yang akan memanfaatkan pasar bebas untuk mempercepat transisi dari energi tidak terbarukan ke EBT. ETM akan membuka kesempatan investasi dalam pengembangan EBT yang hemat biaya dan menggunakan teknologi mutakhir.

Keseluruhan mekanisme pengurangan emisi karbon yang disusun dan direncanakan oleh pemerintah diharapkan dapat menghasilkan hasil sesuai dengan proyeksi dan target NZE tahun 2060 atau lebih cepat. Dibutuhkan keseriusan baik dari pemerintah melalui supremasi hukum dan ketaatan perusahaan untuk mengikuti aturan untuk mencapai target demi kebaikan bersama.

 

* Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia, Fakultas: Ekonomi dan Bisnis, Jurusan: Ilmu Ekonomi, Angkatan: 2020

* Informasi yang disampaikan dalam Artikel ini Sepenuhnya merupakan Tanggung Jawab Penulis

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version