in ,

Dampak Tarif Trump terhadap Struktur Pajak Global dan Metodologi Penetapan Harga Transfer

Tarif Trump Global
FOTO: IST

Dampak Tarif Trump terhadap Struktur Pajak Global dan Metodologi Penetapan Harga Transfer

Kebijakan tarif timbal balik yang diumumkan Presiden Trump pada 2 April 2025 telah mengejutkan komunitas perdagangan global, dengan memperkenalkan tambahan tarif terhadap negara-negara yang dianggap merugikan neraca perdagangan Amerika Serikat (AS). Meskipun kebijakan ini ditangguhkan selama 90 hari sejak 9 April 2025, dan kemudian diikuti dengan kesepakatan pengurangan tarif antara AS dan Tiongkok pada 14 Mei 2025—dari 145% menjadi 30% untuk barang-barang Tiongkok ke AS, dan dari 125% menjadi 10% untuk barang-barang AS ke Tiongkok selama periode 90 hari—muncul pertanyaan, apakah langkah ini akan berdampak pada struktur pajak global dan metodologi penetapan harga transfer atau transfer pricing?

Sementara, tarif secara tradisional dianggap sebagai instrumen kebijakan perdagangan, langkah-langkah pemerintahan Trump—terutama dari tahun 2018 hingga 2020—menandai pergeseran signifikan dalam strategi ekonomi global. Kebijakan-kebijakan ini, terutama yang berada di bawah Bagian 301 Undang-Undang Perdagangan AS tahun 1974 dan yang menargetkan impor baja dan aluminium global, memiliki implikasi yang jauh melampaui sengketa perdagangan. Dalam konteks kebijakan tarif tambahan terbaru, langkah tersebut mendorong efek yang luas pada perencanaan pajak internasional, struktur kepatuhan, dan konfigurasi strategis rantai nilai global.

Disrupsi Rantai Pasok Global dan Penataan Ulang Fungsi Bisnis

Pengenaan tarif memaksa perusahaan multinasional (MNC) untuk meninjau ulang dan mengkonfigurasi kembali rantai pasokan global mereka (Gereffi et al., 2021). Perusahaan merespons dengan memindahkan pusat produksi dan permintaan serta mengevaluasi kembali kemitraan mereka untuk mengurangi dampak dari beban tarif. Relokasi ini bukan sekadar perubahan operasional—melainkan juga membawa konsekuensi fiskal yang substansial.

Ketika pusat produksi berpindah ke yurisdiksi di luar zona tarif atau ke yurisdiksi dengan perlakuan preferensial, profil fungsional, aset, dan risiko anak perusahaan korporat juga mengalami perubahan. Restrukturisasi ini memerlukan penyesuaian terhadap model transfer pricing agar tetap mematuhi Pedoman Transfer Pricing OECD atau The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, 2022). Menurut pedoman tersebut, perubahan dalam struktur bisnis harus tecermin dalam analisis fungsional yang diperbarui untuk memastikan bahwa laba dialokasikan secara akurat kepada entitas yang menghasilkan nilai. Prinsip kewajaran (arm’s length principle) mengharuskan transaksi antarperusahaan afiliasi mencerminkan transaksi antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dalam keadaan yang sebanding.

Baca Juga  Penerimaan Pajak 2025 Terancam Tak Capai Target, Potensi "Shortfall" Capai Rp112,4 Triliun

Implikasi terhadap Penetapan Harga Transfer dan Tekanan Kepatuhan

Kenaikan biaya impor akibat penerapan tarif—terutama selama ketegangan perdagangan AS–Tiongkok—secara signifikan memengaruhi strategi penetapan harga antarperusahaan untuk kelompok multinasional asing. Secara khusus, anak perusahaan yang berbasis di AS dari perusahaan yang berkantor pusat di luar negeri yang beroperasi di bawah model distributor risiko terbatas (limited-risk distributor/LRD) menghadapi tekanan yang semakin meningkat. LRD ini, yang biasanya dijamin dengan margin rutin sambil menanggung risiko minimal, sering ditunjuk sebagai importir resmi. Dengan demikian, mereka menjadi bertanggung jawab untuk menyerap tarif impor AS yang baru dikenakan. Beban biaya yang tidak terduga ini mengganggu profil risiko terbatas mereka dan menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan karakterisasi LRD yang berkelanjutan, berpotensi memicu masalah kepatuhan transfer pricing.

Untuk mengurangi dampak ini, beberapa kelompok mempertimbangkan penyesuaian harga transfer—biasanya dengan mengurangi biaya barang yang dijual ke LRD di AS untuk menjaga margin mereka tetap wajar. Namun, penyesuaian post hoc semacam itu telah menghadapi pengawasan yang lebih ketat dari otoritas pajak, yang menekankan perlunya substansi ekonomi, penerapan kebijakan yang konsisten, dan dokumentasi kontemporer yang kuat sesuai dengan prinsip kewajaran (OECD, 2022).

Di sisi lain, perbedaan antara standar transfer pricing dan penilaian bea cukai menjadi semakin jelas. Otoritas bea cukai AS umumnya mengharapkan konsistensi dalam nilai transaksi yang dinyatakan, kecuali ada alasan kuat yang meyakinkan. Akibatnya, perusahaan yang melakukan penyesuaian transfer pricing di akhir tahun untuk mempertahankan margin LRD sering menghadapi penolakan dari bea cukai, berpotensi menciptakan risiko ganda ketidakpatuhan pajak dan bea cukai.

Implikasi Pajak Internasional yang Lebih Luas

Restrukturisasi yang dipicu oleh tarif telah meningkatkan kompleksitas kewajiban pajak internasional. Ketika perusahaan multinasional asal AS memindahkan fungsi-fungsi seperti pengadaan, penjualan, atau distribusi dari yurisdiksi tarif tinggi (misalnya, Tiongkok) ke negara dengan tarif lebih rendah atau yang lebih dekat dengan pusat permintaan utama, mereka harus secara hati-hati menilai risiko pembentukan Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment/PE). Meskipun relokasi semacam itu sering bertujuan untuk meminimalkan beban tarif, namun mereka mungkin secara tidak sengaja memicu paparan PE—terutama dari perspektif otoritas pajak negara asal ekspor.

Baca Juga  Trump Resmi Turunkan Tarif Impor untuk Indonesia Jadi 19 Persen

Sebagai contoh, bila sebelumnya entitas prinsipal di AS berhubungan langsung dengan produsen di Tiongkok, namun kemudian restrukturisasi melibatkan pihak ketiga di negara bertarif rendah (seperti Singapura), otoritas pajak Tiongkok bisa saja menganggap entitas baru tersebut berperan sebagai agen yang bergantung (dependent agent) atau agen pengadaan dari prinsipal di AS, yang berpotensi menciptakan PE agensi di Tiongkok. Meskipun agen pengadaan umumnya memiliki risiko PE yang lebih rendah, Model Tax Convention OECD 2017 dan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 7 menyatakan bahwa aktivitas seperti secara rutin menyimpulkan kontrak atau melakukan negosiasi signifikan tetap dapat menimbulkan eksposur PE di negara sumber.

Menanggapi kenaikan tarif, banyak perusahaan multinasional telah merestrukturisasi rantai pasokan mereka untuk mengurangi paparan bea cukai—dengan mengalihkan transaksi melalui yurisdiksi dengan tarif yang lebih rendah atau menyesuaikan harga antarperusahaan untuk meminimalkan nilai bea cukai yang dilaporkan. Meskipun ini adalah strategi yang didorong oleh perdagangan, mereka sering kali memerlukan perubahan pada pengaturan antarperusahaan, yang pada gilirannya menimbulkan isu transfer pricing dan risiko terkait BEPS. Otoritas pajak, terutama di yurisdiksi OECD, telah memperketat audit terhadap restrukturisasi semacam itu—memeriksa apakah profil fungsional yang direvisi, pengaturan berbagi biaya, atau struktur harga sesuai dengan prinsip kewajaran dan mencerminkan substansi ekonomi. Penggunaan Advance Pricing Agreements (APA) pun meningkat, karena MNC mencari kepastian dalam menavigasi baik aturan bea cukai maupun transfer pricing dalam lingkungan regulasi yang terus berkembang (OECD, 2021).

Integrasi Strategis Antara Fungsi Pajak dan Perdagangan

Kebijakan tarif era Trump menandai momen penting dalam konvergensi fungsi pajak dan perdagangan di dalam perusahaan-perusahaan global. Departemen pajak tidak lagi dapat beroperasi secara terpisah—mereka harus berkolaborasi erat dengan tim logistik dan kepatuhan perdagangan. Pajak kini berperan aktif dalam perancangan rantai pasok dan strategi pasar, mencerminkan tren yang lebih luas dari integrasi lintas fungsi di tengah volatilitas geopolitik (Haque et al., 2023). Untuk beradaptasi, banyak perusahaan mendirikan entitas pusat di yurisdiksi netral guna mengonsolidasikan alokasi risiko dan laba. Sebagian lainnya memperkuat substansi ekonomi di lokasi-lokasi tertentu untuk memastikan domisili pajak yang sah dan mengurangi risiko dikenai aturan anti-penghindaran pajak. Adaptasi-adaptasi ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan antara kebijakan perdagangan dan perencanaan pajak dalam ekonomi global saat ini.

Baca Juga  Penjual Lapak “Online” Bakal Kena Pajak, Asosiasi e-Commerce Minta Penerapan Secara Bertahap

Wawasan Praktis dan Pertimbangan Kebijakan

Kebijakan tarif Trump menekankan kebutuhan mendesak akan koordinasi yang lebih baik antara kerangka kebijakan perdagangan internasional dan perpajakan. Sementara Pedoman Transfer Pricing OECD memberikan arahan yang luas, pedoman tersebut menawarkan panduan terbatas tentang cara menangani guncangan biaya eksternal seperti tarif. Oleh karena itu, revisi pedoman di masa depan sebaiknya mempertimbangkan hal-hal berikut:

  • Pedoman eksplisit mengenai cara mengalokasikan beban tarif di antara pihak-pihak afiliasi;
  • Ketentuan safe harbor untuk model transfer pricing yang terdampak oleh kebijakan tarif; dan
  • Rekomendasi untuk menyelaraskan proses audit pajak dan audit kepabeanan secara lebih baik.

Selain itu, perkembangan ini menggambarkan bahaya dari eskalasi pembalasan kebijakan, di mana kebijakan pajak dapat memicu respons perdagangan dan sebaliknya. Seiring perkembangan pajak internasional, memastikan koherensi antara kebijakan pajak dan perdagangan menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi global dan kepercayaan investor.

Kebijakan tarif Trump memiliki implikasi yang jauh melampaui isu perdagangan tradisional. Kebijakan tersebut memicu reorganisasi rantai nilai global, mengganggu standardisasi model transfer pricing, dan mengungkap kerentanan dalam kerangka perpajakan internasional. Meskipun Pedoman Transfer Pricing OECD tetap menjadi pedoman utama, namun perlu berkembang agar dapat mencerminkan keterkaitan yang semakin erat antara dinamika perdagangan dan perpajakan.

Untuk menghadapi tantangan ini, pembuat kebijakan, praktisi pajak, dan perusahaan multinasional harus berkolaborasi dalam membangun sistem perpajakan internasional yang lebih koheren dan tangguh—sistem yang mampu bertahan dari guncangan politik dan ketidakpastian ekonomi.

Artikel ini ditulis oleh Dr. Martua Eliakim Tambunan, SE., Ak., M.Si, CA, CRMP, Direktur Utama PT Pro Visioner Konsultindo. Kontak: [email protected].

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

167 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *