Menu
in ,

Meningkatkan Kinerja Perpajakan Sektor UMKM

Meningkatkan Kinerja Perpajakan

FOTO: IST

Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah selama ini memang mendapat perhatian khusus dari pemerintah, tak terkecuali otoritas pajak. Berbagai bantuan serta fasilitas disalurkan untuk keberlanjutan usaha pelaku sektor UMKM. Hal ini memang wajar, karena pelaku UMKM memegang porsi sekitar 90% dari keseluruhan pelaku usaha di Indonesia. Besarnya jumlah pelaku UMKM harus dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik untuk dapat menjaga aktivitas perekonomian berjalan dengan stabil.

Direktorat Jenderal Pajak telah memberikan fasilitas perpajakan khusus UMKM. Diantaranya adalah hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) 46 tahun 2013 yang mengatur PPh final dengan tarif 1% atas peredaran bruto untuk UMKM, dengan adanya ketentuan batasan omzet kurang dari Rp4,8 Miliar. Aturan ini kemudian digantikan oleh Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018 yang menurunkan tarif PPh final untuk UMKM menjadi 0,5% atas peredaran bruto.

Kemudian di masa pandemi, pemerintah memberikan insentif PPh final ditanggung pemerintah yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 86 tahun 2020 dan perubahannya. Insentif ini diberikan untuk mendongkrak usaha para pelaku UMKM yang mayoritas terdampak oleh pandemi. Harapannya, supaya roda perekonomian yang sempat macet dapat kembali berjalan dengan insentif yang diberikan kepada para pelaku UMKM tersebut.

Terbaru, melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), DJP memberikan syarat subjektif berupa batasan omzet sebesar Rp500 Juta untuk para UMKM untuk timbul kewajiban pembayaran PPh final 0,5%. Pengaturan ini dibuat sebagai bentuk kepedulian DJP terhadap usaha para UMKM dan tentunya untuk memperluas basis pajak UMKM di Indonesia. Lalu bagaimana upaya praktikal untuk memperluas basis pajak UMKM?

Salah satu bentuk upaya tersebut adalah melalui penyuluhan perpajakan. KPP Pratama serta Kantor Pelayanan, Penyuluhan, serta Konsultasi Perpajakan (KP2KP) senantiasa menyediakan fasilitas penyuluhan perpajakan untuk para UMKM, yang saat ini telah bisa dilaksanakan secara daring. Kemudian, dalam rangka meningkatkan kinerja penyuluhan dan menggaet lebih banyak UMKM, DJP merilis program Business Development Services (BDS) melalui Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-13/PJ/2018 pada Oktober 2018 lalu.

Program BDS merupakan pengembangan dari program penyuluhan perpajakan, yang isinya tak hanya terkait penyuluhan perpajakan, namun juga materi terkait pengembangan bisnis para pelaku UMKM. Materi pengembangan bisnis ini diantaranya dapat berupa strategi marketing dan pembukuan, strategi mendesain usaha yang baik, hingga opsi pembiayaan untuk para pelaku UMKM. Materi yang diberikan tergantung kebutuhan masing – masing KPP dan tentunya kebutuhan para UMKM calon peserta BDS.

Program BDS dilaksanakan di setiap KPP Pratama, dan tiap KPP Pratama dapat bekerja sama dengan lembaga atau instansi lain dalam pelaksanaannya. Bentuk program yang dilaksanakan mulai dari workshop, seminar, talkshow, bazaar, dan sebagainya. Program BDS menjadi program jangka panjang yang diharapkan mampu memperluas basis pajak UMKM dengan cara menarik minat calon wajib pajak UMKM, mendampingi wajib pajak UMKM baru, serta terus membina wajib pajak UMKM lama.

Tak dapat dipungkiri, program BDS menjadi andalan DJP di lapangan dalam memperluas basis pajak sektor UMKM. Melalui program BDS ini, DJP mengubah pendekatan dalam menarik minat para UMKM dengan melakukan pendampingan usaha. Metode ini cocok diterapkan untuk pelaku UMKM, karena kebanyakan pelaku UMKM merasa tidak membutuhkan pajak. Berbeda dengan pelaku badan usaha yang memang membutuhkan tax clearance untuk keberlangsungan usahanya.

Selain itu, metode ini juga dapat menetralisir stigma negatif pajak dan otoritas pajak di mata pelaku UMKM. Melalui pendampingan dan pemberian materi terkait pengembangan usaha, para pelaku UMKM setidaknya memiliki pandangan positif terhadap DJP. Sehingga, pemberian edukasi perpajakan akan lebih mudah diberikan terhadap para pelaku UMKM.

Pelaksanaan BDS di KPP Pratama sendiri menjadi tugas dan kewenangan dari Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Kemudian di tahun 2021, setelah terjadi reorganisasi dan pembentukan seksi – seksi fungsional, BDS menjadi tugas dan fungsi Seksi Fungsional Penyuluhan. Pembentukan seksi ini menjadi salah satu kemajuan, karena saat ini fungsi penyuluhan terhadap wajib pajak dipegang oleh seksi yang memang berisi para pegawai ahli dalam melaksanakan fungsi tersebut.

Kedepannya, mungkin diperlukan campur tangan Account Representative (AR) dalam pelaksanaan program BDS. Fungsi AR disini adalah melakukan pemetaan serta penggalian potensi calon wajib pajak UMKM serta wajib pajak UMKM baru. Dengan adanya keterlibatan AR, pelaku UMKM peserta BDS akan dapat dengan mudah dimonitor pasca pelaksanaan program BDS tersebut oleh AR nya masing – masing. Kontribusi AR dalam program BDS akan meningkatkan efektifitas program BDS, sehingga target penerimaan dan kepatuhan pajak sektor UMKM nantinya akan lebih mudah dicapai.

DJP juga perlu bekerja sama dengan berbagai lembaga, lembaga pembiayaan misalnya untuk menyediakan opsi pembiayaan UMKM melalui program BDS ini. Materi – materi terkait usaha sebaiknya juga diprioritaskan di tengah perbaikan ekonomi pasca pandemi ini. Bersamaan dengan materi usaha tersebut, DJP dapat menyisipkan edukasi perpajakan, tentunya dengan porsi yang pas supaya para pelaku UMKM tidak kabur.

Dengan membaiknya perekonomian pasca pandemi, pelaku UMKM diprediksi akan semakin bertambah. Penambahan ini tentu membuka peluang serta potensi perpajakan sektor UMKM. Per 2020 lalu, dari 67 juta total pelaku UMKM di Indonesia, hanya sekitar 2,3 juta UMKM yang telah terdaftar sebagai wajib pajak. Dari jumlah itu pun, tidak semuanya patuh dalam membayar pajak. Inilah yang menjadi tantangan bagi DJP kedepannya di tengah agenda reformasi pajak yang masih berlangsung hingga kini.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version