Menu
in ,

OJK dan DJP Berikan Relaksasi bagi Perusahaan yang IPO

Pajak.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan beragam relaksasi bagi perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO). Relaksasi yang diberikan DJP dan OJK ini untuk mendorong kemajuan perusahaan dan memperkuat ekosistem pasar modal di Indonesia.

Direktur Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Maulana, OJK telah memberikan sejumlah relaksasi dan kemudahan, antara lain memperpanjang masa penawaran awal dari semula 21 hari menjadi 42 hari.

“OJK juga melakukan perpanjangan jangka waktu berlakunya laporan penilaian yang digunakan untuk pernyataan pendaftaran, dari semula enam bulan menjadi paling lama delapan bulan. Kemudahan yang diberikan ini nyatanya bisa menarik perusahaan untuk melantai di bursa, bahkan di tengah ketidakpastian (pandemi COVID-19),” kata Maulana dalam webinar Capital Market Summit Expo (CMSE) 2021, pada (14/10).

Ia menyebut, sepanjang pandemi, pengumpulan dana yang berasal dari IPO per Oktober mencapai Rp 262,31 triliun, yang terdiri dari penawaran umum terbatas dan emisi efek bersifat utang dan sukuk.

“Realisasi ini merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah bursa. Melesatnya jumlah emisi pengumpulan dana salah satunya disebabkan oleh IPO jumbo Bukalapak dan rights issue yang dilakukan BRI (PT Bank Rakyat Indonesia Tbk). Ini artinya angka tertinggi emisi di pasar modal justru terjadi di masa pandemi,” kata Maulana.

Relaksasi pun diberikan dari sisi pajak. Kepala Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan (PPh) Badan Direktorat Peraturan Perpajakan II Dading Handoko menyebut, ada pengurangan tarif pajak 3 persen bagi perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).

“Tarif PPh badan normal yang saat ini dikenakan sebesar 22 persen. Karena ada pengurangan tarif, Wajib Pajak yang listing di BEI dikenakan pajak hanya sekitar 19 persen. Tapi tidak semua emiten bisa menikmati relaksasi ini. Syaratnya jumlah saham yang disetor, diperdagangkan, minimal 40 persen,” kata Dading.

Selain itu, syarat yang harus dipenuhi emiten untuk mendapat pengurangan pajak, yakni kepemilikan saham paling sedikit 300 orang dan kepemilikan satu pihak tidak boleh melebihi 5 persen.

“Ada durasi yang wajib dipenuhi, yakni harus ter-lock dalam jangka waktu 183 hari. Apabila memenuhi syarat ini, bisa melapor ke Direktorat Jenderal Pajak, maka nantinya perusahaan ini bisa mendapat penurunan tarif 3 persen,” kata Dading.

Dengan pemotongan tarif ini pemerintah berharap laba emiten menjadi lebih besar dan dividen yang diberikan ke masyarakat jadi lebih tinggi. Pemerintah ingin dunia usaha kembali bangkit untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.

Head of Investment Banking PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Sekuritas Tulus Nababan menilai, kemudahan dan relaksasi itu harus dimanfaatkan oleh perusahaan. Meningkatnya emisi pengumpulan dana di pasar modal menjadi indikasi bahwa saat ini menjadi waktu yang tepat bagi perusahaan melakukan IPO.

“Sebab ini bukan masalah struktural seperti krisis 1998. Begitu pandemi selesai, saya meyakini pasar saham akan bagus, yang bisa dilihat dari kinerja emiten,” kata Tulus.

BNI Sekuritas memproyeksikan laba bersih emiten di tahun 2021 akan tumbuh 30 persen dibandingkan tahun lalu. Per semester I-2021 saja pertumbuhan laba bersih emiten sudah mencapai 28,5 persen.

“Keuntungan lagi bagi suatu perusahaan bertransformasi menjadi perusahaan terbuka, salah satunya adalah bisa melakukan akuisisi perusahaan menggunakan saham treasury yang dimiliki. Itu dilakukan oleh emiten PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) yang mengakuisisi Oneject (PT Oneject Indonesia) menggunakan hasil jual saham treasury,” ungkapnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version