Menu
in ,

Sri Mulyani: UU HKPD, Pemda Bisa Jadi “Shock Absorber”

Pajak.comJakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pemerintah daerah bisa memaksimalkan local taxation power atau pendapatan asli daerah (PAD) dan tidak melulu mengandalkan transfer dari pemerintah pusat. Dengan begitu, pemerintah daerah bisa  berdikari alias mandiri bahkan membantu menjadi shock absorber jika pemerintah pusat mesti berjibaku menghadapi shock seperti pandemi.

“Kalau sekarang pusat menghadapi shock yang besar seperti pandemi, tiba-tiba ekonominya berhenti dan drop sehingga daerah tidak punya alternatif. Semuanya berhenti dan ikut drop karena transfer kita menjadi turun. Seperti yang terjadi pada 2020 lalu, pemerintah daerah belum memiliki sophistikasi untuk ikut menjadi shock absorber, jadi kalau ada shock besar yang meng-absorb itu APBN. APBD menjadi dampaknya saja, APBD sendiri tidak mampu menjadi alat untuk meng-absorb shock secara aktif,” katanya dalam Sosialisasi UU HKPD di Pekanbaru, Riau, Jumat (25/03).

Selain itu, pemerintah daerah bisa meningkatkan kualitas belanja daerah yang dilakukan melalui pengaturan pengelolaan belanja daerah dengan fokus belanja, mandatory spending, pengendalian belanja pegawai, penguatan belanja infrastruktur, dan SiLPA berbasis kinerja. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pilar ketiga dalam UU HKPD.

“Kita berharap dengan UU HKPD ini belanja pusat dan daerah makin harmonis dan sinkron. Kita berharap pengeluaran jangka menengah itu lebih disinkronkan antara pusat dan daerah dan penganggarannya makin terpadu,” imbuhnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, mandatory spending juga diperlukan untuk mengakselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah.

“Ada mandatory spending bukan tujuannya untuk tidak memberikan kepercayaan kepada daerah. Tapi memang daerah ini tujuannya untuk melayani masyarakatnya terutama di bidang pendidikan kesehatan,” imbuhnya.

Dalam paparannya, Sri Mulyani juga menyatakan pengendalian belanja pegawai meliputi batasan besaran belanja pegawai maksimal 30 persen dari APBD tidak termasuk tunjangan guru yang berasal dari TKD, masa transisi penyesuaian porsi belanja pegawai yaitu lima tahun, dan fleksibilitas dalam melakukan penyesuaian pascatransisi.

Selain itu, UU HKPD juga mengatur penguatan belanja infrastruktur. Yaitu, melalui batasan besaran belanja infrastruktur pelayanan publik minimal 40 persen dari APBD di luar transfer ke daerah bawahan dan desa, masa transisi penyesuaian porsi belanja infrastruktur pelayanan yaitu lima tahun, dan fleksibilitas dalam melakukan penyesuaian pascatransisi.

Terakhir, optimalisasi penggunaan SiLPA non-earmarked untuk belanja daerah berdasarkan kinerja layanan publik daerah. Sri Mulyani menegaskan, UU HKPD memungkinkan bagi daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi dengan pemenuhan kualitas layanan publiknya relatif baik, untuk memiliki Dana Abadi Daerah. Pengalokasian Dana Abadi Daerah dapat menjadi opsi bagi kebermanfaatan lintas generasi dengan manfaat yang lebih luas.

“Jadi kalau seperti (Provinsi) Riau memiliki pas dapat windfall dari penerimaan minyak nanti tinggi, Dana Bagi Hasilnya melonjak, itu enggak selalu harus habis dibelanjakan. Bisa diletakkan dalam wadah yang disebut dana abadi,” jelasnya.

Katanya, Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Ia mencontohkan, penerapan dana abadi di pemerintah pusat melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dengan adanya dana abadi pendidikan, dana abadi kebudayaan, dana abadi riset, dan dana pendidikan tinggi dengan total kelolaan Rp 99,11 triliun.

“Namanya abadi, jadi dia tidak dipakai pokoknya. Tapi yang dipakai adalah hasil investasinya,” jelasnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version