in ,

Sri Mulyani Ungkap Dampak Konflik Israel-Iran ke Perekonomian Indonesia

Sri Mulyani Konflik
FOTO: IST

Sri Mulyani Ungkap Dampak Konflik Israel-Iran ke Perekonomian Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran kini berdampak nyata terhadap dinamika ekonomi global, termasuk Indonesia. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa konflik geopolitik tersebut memicu lonjakan harga minyak dunia lebih dari 8 persen, dari kisaran 70 dolar Amerika Serikat (AS) per barel menjadi 78 dolar AS per barel.

Menurut Sri Mulyani, kenaikan tajam ini bukan hanya karena faktor permintaan dan penawaran semata, tetapi juga sebagai dampak langsung dari disrupsi keamanan global.

“Risiko pertama adalah ketidakpastian harga cenderung naik, seperti harga minyak yang naik. Namun di sisi lain, dari sisi perekonomian global akan cenderung melemah,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Jakarta, dikutip Pajak.com pada Rabu (18/6/25).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa dunia tengah menghadapi kombinasi yang berbahaya yaitu inflasi yang terdorong oleh kenaikan harga karena konflik, namun di sisi lain permintaan global justru melemah. Kombinasi ini menciptakan tekanan ganda bagi perekonomian negara-negara, termasuk Indonesia.

Dampak nyata dari ketidakpastian global ini juga terlihat dari indeks aktivitas manufaktur. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur global pada Mei 2025 berada di angka 49,6, posisi terendah sejak Desember 2024. Sebanyak 70,8 persen negara di ASEAN dan G20 tercatat mengalami kontraksi. Indonesia sendiri berada di posisi 47,4, menandakan perlambatan aktivitas industri yang cukup serius.

Baca Juga  BPS: Inflasi pada Juni 2025 Capai 0,19 Persen, Ini Pendorongnya!

Kondisi ini dinilai sebagai efek lanjutan dari ketegangan geopolitik yang semakin tajam. Sri Mulyani mengungkap bahwa konflik internasional tersebut telah mengganggu aktivitas ekonomi dunia, mulai dari ekspor-impor hingga aliran modal global. Ia menegaskan, bagi Indonesia, dampaknya bisa meluas terhadap permintaan barang ekspor nasional, nilai tukar, dan bahkan biaya utang luar negeri.

“Risiko bagi Indonesia terlihat dengan global economic melemah kemungkinan mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang ekspor kita. Harga komoditas ada yang pick up sangat tinggi, bukan karena supply demand dalam artian biasa, tapi lebih karena disruption karena adanya disrupsi. Nilai tukar juga dalam hal ini cenderung mengalami volatilitas dan suku bunga utang meningkat, terutama karena kebijakan fiskal di Amerika Serikat [AS],” imbuhnya.

Ketidakpastian global juga tecermin dalam proyeksi lembaga internasional. International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2025.

Baca Juga  Pemerintah Sudah Salurkan Gaji ke-13 Rp32,8 Triliun, Progres ASN Pusat 100 Persen, Daerah Baru 48 Persen

IMF kini memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya sebesar 2,8 persen, sedangkan Bank Dunia menurunkan prediksinya menjadi 2,3 persen. Sementara volume perdagangan dunia diproyeksikan hanya tumbuh 1,7 persen, turun tajam dari 3,8 persen pada 2024.

Namun di tengah bayang-bayang ketegangan global, indikator domestik Indonesia menunjukkan sinyal positif. Indeks kepercayaan konsumen masih bertahan di level optimistis, yakni 117,5. Konsumsi listrik terus tumbuh 4,5 persen untuk sektor bisnis dan 6,7 persen untuk sektor industri manufaktur. Penjualan semen melonjak hingga 29,98 persen, menunjukkan geliat sektor konstruksi yang mulai bangkit. Penjualan sektor riil juga membaik di angka 2,6.

Di sisi pertumbuhan ekonomi, Indonesia mencatatkan kinerja cukup baik dengan pertumbuhan sebesar 4,87 persen pada kuartal I-2025. Inflasi juga berhasil dijaga rendah di level 1,6 persen secara tahunan, mencerminkan terkendalinya harga pangan dan energi. Inflasi inti sebesar 2,4 persen menunjukkan bahwa permintaan domestik masih bertahan di tengah tekanan global.

Menurut wanita yang akrab disapa Ani itu menegaskan bahwa, ketahanan ekonomi nasional ini ditopang oleh peran penting Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan pendekatan fiskal yang hati-hati namun tetap ekspansif, APBN mampu menjadi bantalan terhadap gejolak eksternal.

Baca Juga  Perjanjian IEU-CEPA Hampir Rampung, Indonesia Bersiap Genjot Ekspor ke Uni Eropa

Hingga 31 Mei 2025, pendapatan negara tercatat Rp995,3 triliun, dipengaruhi langsung oleh dinamika harga komoditas, geopolitik, dan pergerakan ekonomi global. Belanja negara sebesar Rp1.016,3 triliun digelontorkan untuk menjaga ekonomi dalam negeri tetap berjalan, khususnya melalui program-program prioritas nasional.

Meski belanja lebih besar dari pendapatan, defisit APBN tetap terkendali di angka 0,09 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah juga berhasil menjaga surplus keseimbangan primer sebesar Rp192,1 triliun, menandakan bahwa struktur APBN tetap dalam kondisi sehat dan mampu merespons tekanan global tanpa harus mengorbankan stabilitas jangka panjang.

“Di tengah tensi global yang memuncak dan volatilitas dari pasar keuangan maupun perekonomian global, Indonesia tetap bisa menjaga stabilitas ekonomi dan juga menjaga stabilitas kebijakan fiskalnya yang responsif dan adaptif, namun tetap terjaga dari sisi kesehatan APBN-nya sendiri,” tutup Sri Mulyani.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *