Menu
in ,

Sri Mulyani: Gunakan TKDD untuk Penanganan Covid-19

Pemda Boleh Gunakan TKDD untuk Penanganan Covid-19

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta kepada pemerintah daerah untuk membantu mempercepat penanganan Covid-19 dengan menggunakan TKDD (dana transfer ke daerah dan dana desa), yang meliputi DAU (dana alokasi umum) dan DBH (dana bagi hasil).

Secara spesifik, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah daerah dapat menggunakan TKDD yang meliputi DAU dan DBH sebesar 8 persen untuk program yang berikatan dengan kesehatan di tengah pandemi, termasuk vaksinasi. Kebijakan ini ditetapkan untuk merespons angka positif yang kembali meningkat.

“Kami memperbolehkan DAU dan DBH dipakai untuk bantu program vaksinasi khususnya. Termasuk, membantu kelurahan, desa untuk melakukan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), insentif tenaga kesehatan (nakes) juga bisa menggunakan DAU dan DBH,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers, bertajuk APBN Kinerja dan Fakta (APBN KiTA), pada Senin (21/5).

Selain itu, pemerintah pusat juga memperbolehkan pemerintah daerah untuk memanfaatkan dana desa. Sebagai contoh, melonjaknya kasus Covid-19 di Kudus, Jawa Tengah. Sri Mulyani mengatakan, pemerintah daerah setempat seharusnya bisa menggunakan dana desa untuk melakukan penanganan kesehatan.

“Seperti untuk TNI atau Polri yang turun langsung untuk membantu mengendalikan tersebarnya Covid-19. Nah, seharusnya beberapa desa atau kelurahan di beberapa daerah zona merah bisa memanfaatkannya,” tambahnya.

Sri Mulyani menemukan, beberapa pemerintah daerah lain juga masih mensyaratkan revisi anggaran APBDes, sehingga pengalihan penggunaan anggaran tidak dapat responsif.

“Artinya, 8 persen dari Rp 72 triliun dana desa (seluruh desa di Indonesia), yaitu sekitar Rp 3,84 triliun yang kita berikan ke desa, bisa digunakan (untuk penanganan kesehatan),” jelasnya.

Kendati demikian, Sri Mulyani mengingatkan agar pemerintah daerah hati-hati dalam mengalihkan dan mengelola dana untuk kesehatan itu. Pasalnya, setiap anggaran dan kebijakan akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Di sisi lain, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memastikan, kebijakan pemerintah pusat ini bukan dikarenakan anggaran kesehatan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) tidak cukup. Seperti diketahui, anggaran kesehatan dipatok Rp 172,84 triliun dengan realisasi mencapai Rp 39,55 triliun atau 22,9 persen. Anggaran itu sudah digunakan untuk testing, tracing, therapeutic; biaya perawatan untuk 206 ribu pasien; insentif nakes; santunan kematian; obat dan APD (alat pelindung diri); dan sebagainya.

“Ini menjadi sangat penting. Kita telah menyiapkan pagu yang cukup. Apalagi sekarang kita menghadapi kenaikan kasus Covid-19, sehingga ini bisa digunakan untuk menangani dan mengantisipasi Covid-19, sampai dengan vaksinasi,” kata Sua.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version