Menu
in ,

OJK Segera Temui Pemda, Bahas Kebijakan Ekonomi Hijau

OJK Segera Temui Pemda, Bahas Kebijakan Ekonomi Hijau

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera menemui kepala daerah di seluruh Indonesia untuk membahas kebijakan ekonomi hijau. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) harus saling bersinergi dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan ramah lingkungan. Misalnya, kebijakan pemberian insentif pajak untuk mobil listrik.

Ketua OJK Wimboh Santoso mengatakan, pemerintah akan terus mendorong aktivitas ekonomi yang berkelanjutan demi merealisasikan komitmen dalam Perjanjian Paris. Isinya, akan menurunkan emisi karbon hingga 29 persen dengan upaya sendiri pada 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional. Komitmen ini bisa diimplementasikan dengan cepat jika pemerintah pusat dan daerah saling bersinergi.

“Tanpa bantuan pemerintah daerah, kebijakan pemerintah pusat tidak akan memberikan efek optimal. Kebijakan pemerintah pusat, seperti pajak kendaraan listrik yang nol persen dan rencana Otoritas Jasa Keuangan membuat taksonomi hijau dapat digaungkan ke seluruh daerah di Indonesia oleh kepala daerah,” kata Wimboh dalam webinar bertajuk Tantangan Milenial Merebut Peluang Akses Pembiayaan dalam Ekosistem UMKM dan Ekonomi Hijau, yang disiarkan secara virtual, pada (28/12).

Ia berharap, ke depan pemda di Indonesia dapat meniru negara-negara lain. Pemda di sana tidak mengizinkan kendaraan non-listrik atau tidak ramah lingkungan memasuki wilayah mereka. Untuk itu, OJK akan segera membahas kebijakan ekonomi hijau dan menetapkan taksonomi hijau untuk mengidentifikasi semua industri.

“Semua industri nanti akan kita identifikasi taksonominya mana yang termasuk hijau, kurang hijau. Ini akan disusun, sekarang akan kita finalkan. Jadi setiap proyek dan setiap industri hulu hilirnya ada labelnya, ini hijau enggak. Nah, yang hijau nanti semestinya dapat insentif, yang tidak hijau tidak dapat insentif. Identifikasi tersebut nantinya akan dilakukan ke berbagai industri, baik industri pertanian, real estate, dan lainnya,” kata Wimboh.

Menurutnya, hal itu juga dilakukan lantaran beberapa produk asal Indonesia sering kali dipermasalahkan pihak global karena tidak sesuai dengan taksonomi hijau. OJK mengkhawatirkan, jika taksonomi hijau tidak ditetapkan, maka Indonesia tidak mendapatkan tempat di mata global.

“Kita khawatir kalau tidak menyiapkan ini kita tidak kompetitif dan di mana-mana tidak mendapatkan tempat yang baik. Kita tahu beberapa produk dipermasalahkan beberapa negara karena tidak comply dengan taksonomi hijau,” kata Wimboh.

Ia juga menyebutkan, kebutuhan pembiayaan pengembangan ekonomi hijau di Indonesia mencapai 479 miliar dollar AS atau setara Rp 745 triliun hingga 2030. Beberapa upaya yang akan dilakukan Indonesia, antara lain mendukung roadmap net zero emission 2021—2060 yang berfokus pada pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang masif dan pelepasan (retirement) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara berkala.

“Komitmen ini bukan tanpa biaya, melainkan luar biasa. Nah, dari mana kita biayai ini, karena itu kita harus kolaborasi dengan internasional dan private sector. Diantaranya bagaimana kita harus mengubah dari energi fuel menjadi energi baru dan terbarukan, mengurangi efek rumah kaca dengan sedikit menggunakan lampu dan tidak menebang hutan. APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) tidak cukup untuk mendanai seluruh pembiayaan pengembangan ekonomi hijau di Indonesia. Karena itu, pemerintah pusat terus menggandeng seluruh pihak untuk bersama-sama melakukan pengembangan ekonomi hijau,” jelas Wimboh.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version