Menu
in ,

Krisis Evergrande Diprediksi Pengaruhi Ekonomi Dunia

Pajak.com, Jakarta – Krisis perusahaan raksasa properti China, China Evergrande Group terancam bangkrut setelah perusahaan tersebut terindikasi gagal bayar (default) bunga pinjaman yang jatuh tempo pada September ini. Hal ini terjadi karena perusahaan tidak mampu menjual aset properti yang dimiliki untuk melunasi utang sebesar 300 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.275 triliun (asumsi kurs Rp 14.251/per dollar AS), sehingga arus kas Evergrande kini berada di bawah tekanan yang luar biasa. Krisis likuiditas yang terjadi pada perusahaan itu diprediksi bisa berpengaruh terhadap kondisi perekonomian global, termasuk Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan, krisis likuiditas yang terjadi pada Evergrande Group kembali menimbulkan ketidakpastian terhadap perekonomian khususnya pasar keuangan global.

“Dampak yang terjadi di Tiongkok memang berpengaruh terhadap ketidakpastian pasar keuangan global. Ketidakpastian yang dulu tinggi memang terus mereda, kemudian dalam jangka pendek ini terpengaruh oleh yang terjadi di Tiongkok, khususnya kegagalan bayar korporasi,” kata Perry dikutip dari rekaman konferensi pers virtual, Rabu (22/9/2021).

Perry menyoroti, kasus itu juga telah memberikan dampak terhadap pasar modal nasional. Meski demikian, dampak tersebut bersifat faktor eksternal, karena sentimen berasal dari pasar modal global. Sementara dari sisi internal, Perry menegaskan, kondisi perekonomian RI berada dalam level yang positif. Hal ini terlihat dari berbagai indikator, mulai dari defisit transaksi berjalan yang terjaga hingga nilai tukar rupiah yang relatif menguat pada beberapa sesi perdagangan terakhir.

Perry mengatakan, dengan perkembangan ekonomi yang terus membaik di Indonesia, ia memperkirakan bahwa perkembangan pasar modal Indonesia lebih mencerminkan kondisi fundamental Indonesia daripada kondisi teknikal pasar. Sementara terhadap investasi portofolio, dampak dari krisis Evergrande terbilang minim. Hal itu tecermin dari realisasi aliran modal asing masuk sebesar 1,5 miliar dollar AS.

Bukan hanya investasi portofolio, dampak krisis Evergrande terhadap pasar keuangan juga dinilai tidak terlalu signifikan, terlihat dari nilai tukar rupiah yang cenderung menguat. Sebagai informasi, Evergrande memiliki kewajiban berupa utang sebesar 300 miliar dollar As atau sekitar Rp 4.260 triliun (kurs Rp 14.200). Sampai dengan akhir pekan lalu, total utang yang jatuh tempo diperkirakan lebih dari 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,4 triliun.

Senior Technical Analyst PT Henan Putihrai Sekuritas Lisa C Suryanata memiliki pandangan lain. Menurut Lisa, persoalan Evergrande tidak serta-merta berdampak langsung terhadap sektor properti dan permodalan properti di Indonesia meski utangnya mencapai 2 persen dari PDB Cina. Meskipun akan ada kemungkinan akan menghasilkan beban keuangan Cina, menurut Lisa, pemerintah Cina sudah lebih sigap dan gesit untuk menyuntikkan likuiditas di pasar properti. Ia meyakini, dampaknya di perusahaan properti di Indonesia tidak ada karena Evergrande tidak memiliki properti di Indonesia.

Lisa memandang justru tekanan sektor properti di pasar modal Indonesia telah mengalami kenaikan imbas pelonggaran pembatasan mobilitas. Sementara pelemahan yang terjadi, menurutnya, hanya bentuk koreksi wajar yang biasanya hadir akibat aksi jual.

Sementara itu, Chief Investment Officer Rockefeller Global Family Office Jimmy Chang menyampaikan, terdapat risiko penularan bila masalah Evergrande di Cina tidak terselesaikan. Namun, ia memprediksi akan ada perusahaan pelat merah dengan kondisi keuangan yang baik yang bakal mengambil alih Evergrande Group.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version