Indonesia Gabung BRICS, Menperin Blak-blakan Soal Dampaknya bagi Industri Manufaktur
Pajak.com, Jakarta – Bergabungnya Indonesia ke dalam aliansi BRICS membuka peluang baru yang dinilai strategis bagi penguatan sektor industri manufaktur nasional. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS akan mempercepat transformasi industri, memperluas kerja sama teknologi, serta meningkatkan daya saing Indonesia dalam rantai pasok global.
“Keanggotaan Indonesia di dalam BRICS merupakan langkah strategis untuk memperluas kerja sama internasional, terutama dalam pengembangan industri, investasi teknologi, dan penguatan rantai pasok global,” ujar Agus dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Kamis (22/5).
Indonesia resmi menjadi anggota ke-10 BRICS, kelompok ekonomi beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan per Januari 2025. Keanggotaan ini menempatkan Indonesia sejajar dengan negara berkembang lainnya seperti Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab, sekaligus memperkuat posisi BRICS sebagai kekuatan ekonomi global yang mewakili lebih dari 40 persen populasi dunia dan hampir seperempat produk domestik bruto (PDB) global.
Dari sisi ekonomi, keanggotaan ini membuka akses pasar yang lebih luas dan peluang pendanaan dari New Development Bank (NDB). BRICS juga memberikan alternatif kerja sama perdagangan dan keuangan yang tidak bergantung pada dolar Amerika Serikat (AS).
Secara diplomasi, Indonesia kini berada di forum strategis yang memperjuangkan reformasi tatanan ekonomi global. Sementara secara finansial, kerja sama BRICS diharapkan mampu mendukung sistem keuangan alternatif yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Bagi sektor industri, dampaknya dinilai akan sangat signifikan. Agus menyampaikan bahwa Indonesia kini berada dalam posisi strategis untuk mempercepat implementasi roadmap Making Indonesia 4.0, terutama dalam aspek transformasi digital, otomatisasi, dan smart manufacturing.
“Indonesia berkomitmen dalam memajukan transformasi digital, smart manufacturing, dan otomatisasi industri guna meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional. Ini sejalan dengan semangat BRICS dalam memperkuat kerja sama teknologi dan inovasi,” tegasnya.
Pemerintah juga berkomitmen memperkuat sektor industri melalui inovasi, pengembangan industri hijau, serta integrasi rantai pasok yang kuat dan inklusif. Tak hanya industri besar, industri kecil dan menengah (IKM) juga menjadi perhatian utama dalam kerja sama BRICS.
Agus menyebutkan, melalui kolaborasi ini, IKM Indonesia akan mendapat akses terhadap teknologi digital dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mendongkrak efisiensi dan perluasan pasar.
“Digitalisasi dan AI bukan hanya milik industri besar. IKM kita harus bisa mengakses teknologi ini agar tidak tertinggal. Inilah pentingnya kerja sama dalam BRICS untuk memperkecil kesenjangan teknologi,” ujarnya.
Agus juga menyoroti potensi Indonesia di sektor bioindustri dan ekonomi sirkular. Menurutnya, Indonesia memiliki kekuatan besar dalam sumber daya alam terbarukan, yang bisa dikembangkan melalui kerja sama teknologi dengan negara-negara BRICS untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat bioindustri dunia.
“Kerja sama BRICS akan mempercepat pengembangan teknologi bioindustri dan mendorong ekonomi sirkular yang ramah lingkungan,” tambahnya.
Dalam konteks global, Agus menegaskan bahwa BRICS adalah panggung strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi industri manufaktur nasional agar lebih kompetitif dan berkelanjutan. Merujuk data World Bank, nilai tambah manufaktur Indonesia (Manufacturing Value Added/MVA) mencapai 255,96 miliar dolar As pada 2023. Ini menempatkan Indonesia di posisi keempat di antara negara anggota BRICS, di bawah Tiongkok (4.658,79 miliar dolar AS), India (461,38 miliar dolar AS), dan Brasil (289,79 miliar dolar AS).
Indonesia bahkan mencatatkan nilai MVA lebih tinggi dibanding Rusia (251,58 miliar dolar AS), Iran (78,54 miliar dolar AS), Mesir (59 miliar dolar AS), Uni Emirat Arab (55,76 miliar dolar AS), Afrika Selatan (49,35 miliar dolar AS), dan Ethiopia (7,33 miliar dolar AS). Di Asia, Indonesia menempati peringkat kelima setelah Tiongkok, Jepang, India, dan Korea Selatan. Sementara di kawasan ASEAN, Indonesia memimpin di posisi teratas, melampaui Thailand dan Vietnam.
Comments