Menu
in ,

Biayai Defisit Fiskal 2022, Pemerintah Akan Tarik Utang

Biayai Defisit Fiskal 2022, Pemerintah Akan Tarik Utang

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah akan menarik utang sebesar Rp 973,6 triliun untuk membiayai defisit fiskal pada tahun 2022. Jumlah itu 5,2 persen lebih rendah dibanding outlook penarikan utang sepanjang 2021 senilai Rp 1.026 triliun. Sebagian besar pembiayaan utang untuk membiayai defisit fiskal dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 akan dipenuhi dari penerbitan surat berharga negara (SBN).

Sebagai informasi, dalam Undang-Undang APBN 2022, pemerintah telah menetapkan defisit sebesar Rp 868 triliun atau 4,85 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit terjadi lantaran belanja pemerintah sebesar Rp 2.714,2 triliun, sementara pendapatan negara senilai Rp 1.846,1 triliun.

“Kita melakukan pembiayaan melalui utang dan nonutang. Melalui utang Rp 973,6 triliun, artinya bahwa selama tahun 2022 kita akan melakukan pembiayaan utang melalui SBN atau pelaksanaan pinjaman dengan target Rp 973,6 triliun.

Penawaran SBN bruto dilakukan melalui lelang maupun nonlelang, dengan porsi surat utang negara (SUN) 69 persen—72 persen dan surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk negara 28 persen—31 persen. Lelang di pasar perdana dan nonlelang adalah adanya SBN ritel, private placement, maupun pelaksanaan SKB III (antara pemerintah dengan Bank Indonesia),” jelas Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Riko Amir dalam Media Briefing yang dilakukan secara virtual, pada (13/12).

Ia mengatakan, sumber pembiayaan utang di tahun 2022 bakal lebih banyak bersumber dari domestik dibanding valuta asing (valas). Pembiayaan dari domestik mencapai 80 persen—82 persen, sementara valas mencapai 18 persen—20 persen.

Kendati demikian, pemerintah berharap rasio utang tahun depan bisa lebih kecil dari perkiraan sebesar 43,2 persen dari PDB. Sebab Kemenkeu akan memaksimalkan penggunaan saldo anggaran lebih (SAL), sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa), serta menarik lebih banyak basis pajak dengan pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Proyeksi di 2022 masih 43,2 persen, tapi kita harapkan lebih kecil. Jadi dalam tahun berjalan ada penerbitan SBN, artinya (penerbitan utang) bukan sporadis, tapi dalam satu rencana. Penerbitan utang tahun 2022 juga berpotensi menurun karena adanya Program Pengungkapan Sukarela atau PPS selama enam bulan mendatang,” kata Riko.

Seperti diketahui, target penerimaan perpajakan tahun 2022 belum menghitung dampak dari pengesahan UU HPP. Lewat UU ini pemerintah memproyeksikan dapat menambah penerimaan sebesar Rp 70 triliun hingga Rp 90 triliun. Sebab UU HPP diyakini dapat memperluas basis pajak, memberi insentif fiskal secara terukur dan selektif, memperbaiki sistem logistik nasional, dan mengoptimalkan pendapatan dari sumber daya alam (SDA).

“Dengan telah diterbitkannya UU HPP di tahun 2021 maka dapat dimungkinkan bahwa APBN 2022 bisa lebih optimal. Pembiayaan APBN kita juga akan lakukan secara fleksibel, antara SBN dan pinjaman saling melengkapi,” kata Riko.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, rencana pembiayaan utang sebagian besar dilakukan dalam mata uang rupiah, berbunga tetap, serta dengan tenor menengah dan panjang. Hal itu dilakukan untuk menjaga risiko pengelolaan utang dan mendorong efisiensi bunga.

“Ada tiga arah kebijakan pembiayaan utang tahun depan. Pertama, mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian dengan menjaga rasio utang dalam batas aman. Kedua, meningkatkan efisiensi biaya utang melalui pendalaman pasar (perluasan basis investor dan mendorong penerbitan obligasi atau sukuk daerah). Ketiga, utang sebagai instrumen menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio utang yang optimal untuk menjaga stabilitas makroekonomi,” jelas Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version