Menu
in ,

3 Strategi Pemerintah Kembalikan Defisit APBN di 2023

Pajak.com, Jakarta – Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menuturkan, pemerintah telah memiliki tiga strategi untuk mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2023. Strategi itu meliputi optimalisasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, efisiensi anggaran dengan skema zero based budgeting, serta memaksimalkan penerimaan pajak.

“Pandemi COVID-19 membuat pemerintah terpaksa melebarkan defisit dari di atas 3 persen. Jadi sekarang skenario kita mengoptimalkan RAPBN 2022 sebagai jembatan yang sifatnya konsolidatif, defisit yang lebar sekarang menuju 4,8 persen menjadi kembali seperti yang diamanatkan undang-undang, di bawah tiga persen,” kata Prastowo dalam program Market Review IDX Channel, pada (29/8).

Seperti diketahui, pandemi COVID-19 berimplikasi pada melonjaknya belanja pemerintah, terutama untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial, dan beragam insentif. Di sisi lain, ekonomi yang melambat membuat penerimaan negara anjlok. Oleh sebab itu, pemerintah terpaksa melebarkan defisit anggaran di tahun 2020 menjadi 6,09 persen. Sementara, tahun 2021 batas maksimum defisit menjadi 5,7 persen.

Kendati demikian, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19 mengamanatkan, defisit sudah harus kembali di bawah 3 persen pada tahun 2023.

“Undang-Undang Nomor 2 ini yang mentolerir pelebaran defisit. Tahun 2020 sekali lagi, pemerintah mau tidak mau melebarkan defisit, tapi selama ini (sebelum pandemi) kita sudah konsisten menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, defisit APBN di bawah 3 persen di tahun 2023. Tentu ini menjadi tantangan kita, tetapi kita sudah belajar, tahun ini pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah untuk mengefisienkan APBN/APBD dengan skema zero based budgeting, kita akan terus fokus menyusun anggaran yang prioritas,” jelas Prastowo.

Dalam buku biografi eks Wakil Menkeu Mardiasmo berjudul The Man With Golden Scissors tertulis, skema zero based budgeting merupakan sebuah metode penganggaran berdasarkan kebutuhan dasar, tanpa harus melihat kegiatan (line item) periode sebelumnya. Dengan kata lain, metode penganggaran ini seperti membuka lembaran baru.

Selanjutnya, lanjut Prastowo, pemerintah mendorong optimalisasi penerimaan pajak untuk dapat mengembalikan defisit. RAPBN menargetkan penerimaan pajak 2022 sebesar Rp 1.262,92 triliun atau meningkat 10,5 persen jika dibandingkan outlook penerimaan tahun 2021 senilai Rp 1.142,5 triliun.

Untuk merealisasikan target itu, pemerintah meneruskan program reformasi perpajakan, baik dari sisi kebijakan maupun administrasi. Dari sisi kebijakan, pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang ditargetkan selesai pada 2022. RUU KUP itu berisi perubahan materi UU KUP, perubahan materi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Cukai, dan pengenaan pajak karbon.

Dari segi administrasi perpajakan, pemerintah menargetkan penyelesaian Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax administration system pada tahun 2023 mendatang. PSIAP akan mengintegrasikan semua sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sehingga pengawasan lebih efektif dan penerimaan akan maksimal.

“Di tengah pemulihan ekonomi yang sedang berjalan kita berharap penerimaan pajak kembali optimal sehingga dapat mendukung pembiayaan APBN. Pemerintah akan konsisten melakukan reformasi perpajakan,” kata Prastowo.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version