in ,

TaxPrime: Pajak Minimum Global Tidak Menghilangkan Manfaat Insentif Fiskal Secara Keseluruhan

Pajak Minimum Global Tidak Menghilangkan Manfaat Insentif Fiskal
FOTO: IST

TaxPrime: Pajak Minimum Global Tidak Menghilangkan Manfaat Insentif Fiskal Secara Keseluruhan

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia resmi menerapkan kebijakan Global Minimum Tax (GMT) atau pajak minimum global dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136 Tahun 2024. Kebijakan ini berpotensi mengurangi efektivitas beberapa insentif pajak yang selama ini dimanfaatkan oleh dunia usaha. Namun, Managing Partner Transfer Pricing & International TaxPrime Emanuel Dewo Adi Winedhar menegaskan bahwa pajak minimum global tidak menghilangkan manfaat insentif fiskal secara keseluruhan.

Dalam seminar yang diselenggarakan oleh TaxPrime, bertajuk “Enhancing Business and Investment Sustainability: Effective Transfer Pricing Dispute Prevention, Resolution, and Strategic Optimization of Fiscal Facilities”, di Financial Hall, Graha CIMB Niaga, Jakarta, pada 24 Februari 2025, para ahli pajak dan pelaku usaha membahas dampak serta strategi adaptasi terhadap penerapan pajak minimum global. Acara ini dihadiri oleh hampir 200 peserta, termasuk perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan, serta Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM.

Menurut lelaki yang akrab disapa Dewo itu, beberapa insentif seperti tax holiday dan tax allowance akan terdampak signifikan oleh penerapan pajak minimum global. Namun, berbagai insentif lainnya tetap relevan bagi dunia usaha.

Pemberlakuan GMT memang mengubah peta insentif fiskal, tetapi bukan berarti semua fasilitas kehilangan manfaatnya. Dengan pemahaman yang komprehensif, dunia usaha masih dapat memanfaatkan berbagai skema insentif yang tersedia,” jelas Dewo.

Sementara itu, Senior Advisor TaxPrime Muhamad Fajar Putranto, menekankan pentingnya strategi pemanfaatan fasilitas fiskal yang lebih cermat. Menurutnya, penerapan pajak minimum global menuntut perusahaan untuk memilih fasilitas fiskal yang tidak hanya memberikan manfaat pajak, tetapi juga sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan bisnis mereka.

Baca Juga  Pelaporan SPT Tahunan Naik 10,87 Persen, Kanwil DJP Jatim Dorong Digitalisasi Pajak

Penting bagi dunia usaha untuk memastikan bahwa fasilitas fiskal yang dipilih tidak hanya memberikan manfaat pajak, tetapi juga sejalan dengan proses bisnis dan karakteristik perusahaan,” ungkap Fajar.

Direktur Fasilitas Kepabeanan DJBC Padmoyo Tri Wikanto menegaskan bahwa fasilitas fiskal di KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor), Kawasan Berikat, Free Trade Zone (FTZ), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Pusat Logistik Berikat (PLB) tetap menjadi instrumen penting dalam menarik investasi dan mendukung perekonomian nasional.

Dalam pemaparannya, Tri bilang, masing-masing kawasan berfasilitas memiliki keunggulan tersendiri dalam memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha:

1. KITE

  • Penangguhan dan pembebasan bea masuk;
  • Pembebasan cukai;
  • Tidak dipungut PPN dan PPnBM atas impor bahan baku; dan
  • Pembebasan PPh Pasal 22 (impor).

2. Kawasan Berikat

  • Pembebasan bea masuk dan cukai;
  • Tidak dipungut PPN dan PPnBM atas barang impor; dan
  • Pembebasan PPh Pasal 22 (impor).

“Kawasan berita ini teknisnya lebih banyak, untuk PPN-nya juga [diberikan] pembebasan, PPh-nya tidak dipungut,” jelas Tri.

3Free Trade Zone 

  • Semua barang impor mendapatkan fasilitas bebas bea masuk dan pajak dalam rangka impor; dan
  • Berlaku di wilayah tertentu seperti Batam, Bintan, Karimun, dan Sabang.

4. Kawasan Ekonomi Khusus

  • Pembebasan bea masuk dan PPN untuk barang modal dan bahan baku;
  • Insentif tambahan seperti tax holiday dan tax allowance; dan
  • Fasilitas perpajakan lainnya sesuai dengan karakteristik kegiatan di KEK.
Baca Juga  Wajib Pajak Bisa Menolak untuk Diperiksa DJP, Ini Prosedurnya

5. Pusat Logistik Berikat

  • Penimbunan barang dengan fasilitas penangguhan bea masuk;
  • Tidak dipungut PPN dan PPnBM selama barang berada di PLB; dan
  • Fleksibilitas dalam distribusi barang ke berbagai wilayah.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Robert Leonard Marbun mencatat pencapaian luar biasa dalam realisasi investasi sepanjang tahun 2024. Total investasi yang berhasil dihimpun mencapai Rp1.714,2 triliun, melampaui target yang telah ditetapkan. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 20,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yang biasanya hanya tumbuh sekitar 12 hingga 13 persen per tahun.

“Ini insentif terhadap fiskal dan kemudian dari insentif macam-macam itu, realisasi investasinya jauh di atas dari yang ditarget,” jelas Robert.

Jika mengacu pada target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo sebesar Rp1.650 triliun, realisasi investasi tahun ini telah mencapai 103,9 persen. Sementara itu, dibandingkan dengan target dalam Rencana Strategis (Renstra) sebesar Rp1.239,3 triliun, capaian ini melesat hingga 138,3 persen.

Selain itu, peningkatan investasi juga berdampak positif terhadap penciptaan lapangan kerja. Sepanjang tahun 2024, sebanyak 2.456.130 tenaga kerja Indonesia terserap dalam berbagai proyek investasi, mengalami peningkatan 34,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dengan penerapan pajak minimum global, reformasi insentif fiskal dinilai harus terus dilakukan agar tetap kompetitif dan selaras dengan regulasi global. Dewo menekankan bahwa pemerintah perlu mengembangkan skema insentif yang lebih adaptif, seperti mekanisme Qualified Refundable Tax Credit (QRTC), agar dapat terus menarik investasi.

Baca Juga  6 Hari Lagi Batas Waktu Lapor SPT Tahunan! DJP Kirim “e-mail Blast” Imbauan ke 4,70 Juta Wajib Pajak 

Fajar berharap agar dampak penerapan pajak minimum global dapat diatasi dengan kebijakan yang lebih mendukung dunia usaha. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.

Dalam kesempatan yang sama, Senior Advisor TaxPrime Machfud Sidik, berterima kasih atas partisipasi dari para narasumber yang hadir. Kami juga berterima kasih atas partisipasi dan antusiasme dari Bapak dan Ibu semuanya,” jelasnya.

Machfud menekankan bahwa dunia bisnis saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks, terutama dalam isu-isu seperti transfer pricing, mitigasi risiko perpajakan, serta efektivitas insentif fiskal. Kompleksitas antara insentif pajak, tax holiday, dan tax allowance dengan pajak minimum global menujukkan perlunya pergeseran dari insentif perpajakan menjadi insentif non-perpajakan. Namun, yang membedakan perusahaan yang bertahan adalah kesiapan dalam memahami dinamika regulasi, mengelola risiko, serta memanfaatkan berbagai peluang dengan cerdas.

“Kami berharap apa yang telah kita bahas hari ini tidak berhenti di seminar ini, tetapi menjadi langkah awal menuju kolaborasi yang lebih kuat antara pemerintah, dunia usaha, serta akademisi,” pungkas Direktur Jenderal Pajak periode 2000-2001 ini.

Dengan berbagai tantangan yang muncul akibat penerapan pajak minimum global, pelaku usaha di Indonesia tetap memiliki peluang untuk memanfaatkan insentif fiskal yang tersedia. Reformasi kebijakan yang berkelanjutan diharapkan dapat menjaga daya saing investasi Indonesia di kancah global.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *