in ,

TaxPrime Ajak Perusahaan Mitigasi Sengketa “Transfer Pricing” Melalui Skema Ini

TaxPrime Mitigasi Sengketa “Transfer Pricing”
FOTO: Tiga Dimensi

TaxPrime Ajak Perusahaan Mitigasi Sengketa “Transfer Pricing” Melalui Skema Ini

Pajak.com, Jakarta – TaxPrime menyoroti semakin tingginya risiko sengketa pajak transfer pricing di Indonesia. Potensi ini TaxPrime analisis dari beberapa indikator, antara lain adanya peningkatan transaksi antar-perusahaan (intercompany transactions) dari Rp6.248 triliun pada 2021 menjadi Rp10.360 triliun di tahun 2022, serta penerapan automated Compliance Risk Management (CRM) yang menjadikan praktik transfer mispricing sebagai salah satu fokus utama pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Untuk itu, Managing Partner Transfer Pricing & International Tax TaxPrime Emanuel Dewo Adi Winedhar menavigasi perusahaan untuk mitigasi potensi risiko sengketa transfer pricing melalui skema Advance Pricing Agreement (APA).

“Secara global, sengketa transfer pricing terus meningkat setiap tahun. Perusahaan multinasional harus memiliki strategi, kebijakan, dan transparansi pajak yang jelas untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap inisiatif keberlanjutan. Karena sengketa transfer pricing yang berkelanjutan dan berulang dapat merusak kredibilitas perusahaan,” ungkap Dewo dalam seminar yang digelar TaxPrime, bertajuk “Enhancing Business and Investment Sustainability: Effective Transfer Pricing Dispute Prevention, Resolution, and Strategic Optimization of Fiscal Facilities”, di Financial Hall, Graha CIMB Niaga, Jakarta, dikutip Pajak.com, (27/2).

Skema Mitigasi Sengketa Pajak “Transfer Pricing”

Strategi mitigasi risiko sengketa transfer pricing dibeberkan Dewo dalam dua langkah. Pertama, langkah utama mitigasi sengketa pajak adalah kepatuhan pajak. Perusahaan harus menunjukkan bahwa berbagai kewajiban perpajakan telah sesuai dengan regulasi yang berlaku.

“Perusahaan harus mematuhi aturan penerapan TP-doc [transfer pricing documentation], prinsip kewajaran dan pengaturan harga ex-ante, pengelolaan dokumen pendukung dan bukti dengan hati-hati,” ujar Dewo.

Kedua, untuk memitigasi sengketa transfer pricing, perusahaan dapat menempuh jalur APA. Sementara untuk menyelesaikan sengketa yang sudah terjadi, perusahaan bisa menggunakan Mutual Agreement Procedure (MAP). Adapun ketentuan APA dan MAP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023.

Baca Juga  Target Pajak Meningkat, TaxPrime Ungkap Strategi Pencegahan dan Penanganan Sengketa ”Transfer Pricing”

”APA dapat mencakup transaksi afiliasi baik dalam negeri maupun lintas yurisdiksi dan dapat dilakukan dalam bentuk unilateral, bilateral, maupun multilateral, tergantung pada kebutuhan dan kompleksitas transaksi afiliasi Wajib Pajak. Artinya, banyak pilihan yang bisa kita gunakan untuk penyelesaian sengketa transfer pricing,” jelas Dewo.

Secara umum, ia melanjutkan, APA unilateral merupakan kesepakatan penetapan harga transfer antara Wajib Pajak, DJP, dan satu negara. Sementara APA bilateral adalah negosiasi antar-negara, antara lain Wajib Pajak, DJP, lawan transaksi, dan otoritas di mana lawan transaksi itu berada. Sedangkan APA multilateral merupakan kesepakatan antar-beberapa negara.

Dewo pun mengungkapkan, Wajib Pajak dapat mencakup kesepakatan dalam APA pada periode hingga 15 tahun. Periode tersebut meliputi, 5 tahun ke depan dan 5 tahun ke belakang (rollback), dan perpanjangan hingga 5 tahun berikutnya setelah masa berlaku APA berakhir. Artinya, dalam kurun waktu 15 tahun, Wajib Pajak dapat memitigasi timbulnya risiko sengketa transfer pricing sehingga meminimalkan cost of compliance.  

”Penyelesaian sengketa domestik yang di mulai dari tahapan pemeriksaan (akan memakan waktu maksimal 5 bulan), keberatan (1-2 tahun), banding (1-3 tahun), hingga peninjauan kembali (1-3 tahun). Dengan demikian, rata-rata penyelesaian sengketa pajak pada jalur domestik menempuh waktu rata-rata 5 tahun,” ungkapnya.

Tahapan Kunci Pengajuan APA dan MAP

Hal senada juga diungkapkan Advisor Transfer Pricing & International Tax TaxPrime Bobby Savero. Ia berpandangan, APA dan MAP memiliki kelebihan yang menguntungkan bagi Wajib Pajak dibandingkan dengan jalur domestik. Selain efisiensi waktu dan cost of compliance, Bobby juga menyoroti keuntungan psikologis dalam pengajuan APA maupun MAP.

”Misalnya, menempuh jalur keberatan, Wajib Pajak akan menghadapi pemeriksa, penelaah keberatan. Dalam persidangan di Pengadilan Pajak [banding], Wajib Pajak akan berhadapan dengan hakim. Sementara, apabila pengajuan APA dan MAP yang kita ajak ngobrol adalah teman-teman dari otoritas pajak, posisi dan pengetahuan yang setara,” ungkap Bobby.

Baca Juga  TaxPrime Dorong Optimalisasi Fasilitas Fiskal dan Pengelolaan Sengketa “Transfer Pricing”

Untuk itu, ia menilai, pengajuan APA dan MAP dapat menjadi alternatif yang worth it untuk Wajib Pajak. Hal yang perlu dipenuhi Wajib Pajak saat pengajuan APA, diantaranya lampirkan tiga TP-doc, laporan keuangan, dan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan. Pastikan syarat administrasi formal sudah dipenuhi dengan baik dan benar sesuai dengan regulasi yang berlaku.

”Kalau dari TaxPrime, kami pasti mengusulkan adanya transfer pricing review. Karena biar bagaimana pun begitu kita maju dan diproses oleh DJP, pastikan dulu kita sudah mengetahui transaksi kita apa saja, pricing policy-nya bagaimana, PKKU-nya [Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha] bagaimana—wajar atau belum, risikonya ada di mana. Sehingga kita mengetahui di mana kita harus mundur, di mana kita harus maju. Jangan kita maunya maju dan menang [disetujui] semua,” jelas Bobby.  

Kemudian, kunci dari pengajuan APA dan MAP adalah tahapan material assessment. Menurut Bobby, tahapan ini krusial karena segala negosiasi serta diskusi dari material assessment. Maka, ia menyarankan Wajib Pajak melakukan konsolidasi internal untuk memastikan bahwa proses yang dituliskan dalam dokumentasi sama dengan di lapangan.

”Pastikan bapak dan ibu Wajib Pajak bersifat terbuka. Jangan mengajukan APA dan MAP, tapi apabila di minta data ini dan itu, Wajib Pajak enggak mau. Jadi, saat bernegosiasi, pastikan Wajib Pajak memberikan data yang akurat, benar, dan transparan, sehingga DJP mengetahui posisi kesepakatannya seperti apa—penerapan ketentuan transfer pricing dan P3B-nya [Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda] seperti apa,” ungkap Bobby.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *