in ,

Sri Mulyani: Stabilitas Sistem Keuangan RI Tetap Terjaga di Kuartal I-2025 di Tengah Gonjang-Ganjing Tarif Trump

Sri Mulyani: Stabilitas Sistem Keuangan
FOTO: IST

Sri Mulyani: Stabilitas Sistem Keuangan RI Tetap Terjaga di Kuartal I-2025 di Tengah Gonjang-Ganjing Tarif Trump

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa stabilitas sistem keuangan Indonesia tetap terjaga dengan baik sepanjang kuartal I-2025, meskipun tekanan dari ketidakpastian global terus meningkat akibat kebijakan tarif impor terbaru dari Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Situasi ini telah memicu eskalasi perang dagang global yang berdampak pada pasar keuangan internasional.

“Situasi dari sistem keuangan yaitu stabilitas sistem keuangan pada triwulan I-2025 tetap terjaga di tengah meningkatnya ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers hasil rapat koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kamis (24/4).

Baca Juga  IKPI Soroti Fragmentasi Fiskal, Usulkan Badan Penerimaan Negara sebagai Solusi Masa Depan

Kebijakan tarif impor yang agresif dari AS dipandang sebagai faktor utama pemicu ketidakpastian global saat ini. Pemerintah Indonesia melalui KSSK yang terdiri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), terus meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat koordinasi kebijakan antar lembaga untuk merespons perkembangan ini secara strategis.

Menurut Sri Mulyani, KSSK telah menyelenggarakan rapat berkala kedua pada tahun ini untuk mengevaluasi situasi dan merumuskan langkah mitigasi guna meminimalisir dampak rambatan dari faktor eksternal terhadap perekonomian domestik. Ketidakpastian global diperkirakan masih akan berlanjut pada awal kuartal II-2025.

“Kebijakan tarif pemerintah Amerika Serikat telah menimbulkan perang tarif dan diperkirakan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, baik perekonomian Amerika Serikat sendiri, Tiongkok, maupun perekonomian global,” ujarnya.

Baca Juga  Wajib Pajak Perlu Ketahui! PER-11/2025 Ubah Batas Waktu Unggah e-Faktur Jadi Tanggal 20

Efek lanjutan dari kebijakan ini turut mendorong penghindaran risiko (risk aversion) dari pelaku pasar dan pemilik modal global. Hal ini tercermin dari penurunan yield US Treasury dan pelemahan indeks mata uang dolar AS (DXY), serta peningkatan ekspektasi pasar terhadap kemungkinan penurunan suku bunga acuan Federal Reserve (Fed Fund Rate).

Akibatnya, terjadi pergeseran arus modal global dari pasar AS menuju aset yang dinilai lebih aman (safe haven), seperti emas dan instrumen keuangan di Eropa serta Jepang. Sementara itu, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami tekanan dari keluarnya aliran modal asing, yang turut menekan nilai tukar mata uang di berbagai kawasan emerging market.

Sri Mulyani juga menyoroti bahwa kenaikan tarif oleh AS tidak hanya memicu retaliasi dan penurunan aktivitas perdagangan antarnegara, tetapi juga membawa dampak tidak langsung berupa disrupsi rantai pasok, meningkatnya ketidakpastian dalam perdagangan dan investasi, serta memburuknya sentimen pelaku usaha terhadap prospek ekonomi global.

Baca Juga  Bukan Rotasi Biasa, Penunjukan Bimo Jadi Dirjen Pajak Buka Babak Baru Reformasi

“Namun kebijakan dari pengenaan tarif oleh Amerika Serikat yang disebut resiprokal juga menimbulkan dampak tidak langsung, yaitu dalam bentuk disrupsi rantai pasok, ketidakpastian di dalam perdagangan dan investasi dan memburuknya sentimen dari pelaku usaha terhadap prospek ekonomi,” jelasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *