Penjual Lapak “Online” Bakal Kena Pajak, Asosiasi e-Commerce Minta Penerapan Secara Bertahap
Pajak.com, Jakarta – Rencana pemerintah untuk mulai mengenakan pajak kepada penjual daring (online) melalui pemotongan langsung oleh platform marketplace menuai sorotan dari pelaku industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan, menyatakan bahwa pihaknya mendukung kebijakan perpajakan yang adil dan transparan, namun menegaskan pentingnya penerapan kebijakan tersebut dilakukan secara bertahap dan hati-hati.
Budi menjelaskan bahwa, hal tersebut dilakukan agar tidak mengganggu keberlangsungan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) digital yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi digital nasional.
“Kami siap bekerja sama dengan DJP [Direktorat Jenderal Pajak] dalam mendukung kebijakan perpajakan yang adil dan transparan, serta mendorong kepatuhan nasional tanpa menghambat ruang tumbuh bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia,” ujar Budi dalam keterangannya, dikutip Pajak.com pada Selasa (1/7/25).
Budi menjelaskan bahwa pemerintah melalui DJP memang tengah menggodok kebijakan penunjukan marketplace sebagai pemotong pajak bagi penjual orang pribadi dengan omzet tertentu. Meski aturan resminya belum diterbitkan, wacana ini mulai disosialisasikan secara terbatas kepada sejumlah pelaku industri sebagai bagian dari persiapan implementasi.
Langkah ini dinilai sebagai bagian dari perluasan basis perpajakan nasional, khususnya di sektor ekonomi digital yang terus tumbuh signifikan. Namun, Budi mengingatkan bahwa keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kesiapan semua pihak, mulai dari sistem platform, kesiapan pelaku usaha, hingga dukungan dari sisi pemerintah.
“Dari sisi asosiasi, idEA mendorong agar kebijakan ini diterapkan secara hati-hati dan bertahap, dengan mempertimbangkan kesiapan para pelaku UMKM, kesiapan infrastruktur baik di sisi platform maupun pemerintah, serta pentingnya sosialisasi yang luas dan komprehensif kepada masyarakat,” jelasnya.
Penerapan pajak kepada penjual online bukan hanya soal regulasi fiskal, melainkan juga menyentuh aspek kepercayaan dan stabilitas ekosistem digital yang sedang berkembang. Dalam hal ini, Budi menilai bahwa komunikasi yang inklusif dan kolaboratif antara DJP, platform, dan penjual menjadi krusial.
Sosialisasi yang kuat akan membantu mencegah misinformasi, membangun pemahaman, serta menciptakan transisi kebijakan yang tidak menimbulkan gangguan terhadap aktivitas perdagangan daring.
Budi juga menegaskan bahwa apapun kebijakan yang nanti ditetapkan, asosiasi dan anggotanya siap mendukung penuh selama dilakukan dengan dasar yang jelas dan proses yang terstruktur.
“Apapun kebijakan dari pemerintah, kami tentu akan patuh dan siap menjalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepatuhan terhadap regulasi merupakan bagian dari komitmen kami sebagai pelaku industri e-commerce dalam mendukung ekosistem yang sehat dan berkelanjutan,” imbuhnya.
Budi menilai bahwa, kebijakan ini berpotensi berdampak besar, mengingat jumlah penjual aktif di berbagai platform e-commerce saat ini mencapai jutaan akun, dengan mayoritas merupakan pelaku UMKM digital. Jika mekanisme pemotongan pajak diberlakukan tanpa kesiapan sistem dan sosialisasi yang matang, maka bukan tidak mungkin akan muncul resistensi dari para seller yang merasa belum mendapat kejelasan atau dukungan teknis yang cukup.
“Karena itu, penting bagi kami sebagai ekosistem untuk memastikan kesiapan sistem, dukungan teknis, serta komunikasi yang memadai kepada para seller,” jelasnya.
Untuk diketahui, beberapa waktu lalu Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menegaskan bahwa rencana ketentuan ini bukan merupakan pajak baru. Intinya, pemerintah hanya menggeser mekanisme pembayaran pajak yang sebelumnya dilakukan secara mandiri oleh pedagang online menjadi pemungutan PPh Pasal 22 oleh marketplace yang ditunjuk.
Secara prinsip, penghasilan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa secara online tetap menjadi objek pajak, sebagaimana ketentuan yang berlaku. Justru, skema baru ini dianggap memberi kemudahan karena sistemnya lebih sederhana dan terintegrasi langsung dengan platform.
UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak dikenakan PPh dalam skema ini. Pemerintah juga menegaskan bahwa tujuan utama dari ketentuan ini adalah menciptakan sistem perpajakan yang adil, mudah, dan tidak menambah beban baru bagi pelaku usaha.
Regulasi terkait masih dalam tahap finalisasi. Pemerintah berkomitmen untuk menyampaikan ketentuan ini secara terbuka dan transparan setelah resmi ditetapkan.
Comments