Menu
in ,

Penerapan Pajak Karbon 1 Juli 2022 Berpotensi Ditunda

Penerapan Pajak Karbon ditunda

FOTO: KLI Kemenkeu

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah masih menyusun aturan turunan pajak karbon, sehingga penerapan pajak karbon 1 Juli 2022  berpotensi ditunda dari yang telah direncanakan. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan, pemerintah tengah mempertimbangkan penerapan pajak karbon di tengah meningkatnya tekanan global, seperti kenaikan harga komoditas dan inflasi.

Kembali mengulas, apa itu pajak karbon? Berdasarkan Pasal 13 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak karbon adalah pajak dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Awalnya, pajak karbon mulai berlaku 1 April 2022, namun karena perlunya harmonisasi peraturan lebih komprehensif serta dukungan pemulihan ekonomi, maka penerapannya diundur menjadi 1 Juli 2022. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon tahap awal untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Kemudian implementasinya akan diperluas untuk sektor lainnya mulai 2025.

Apa tujuan dari penerapan pajak karbon? Tujuan diterapkannya pajak karbon, salah satunya untuk mendukung komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi dengan kontribusi pencapaian net zero emission pada tahun 2060.

Berapa tarif pajak karbon? Perhitungan pajak karbon pada sektor energi yang diusulkan pemerintah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau 2 dollar AS per ton. Dengan usulan Rp 30 per kg/CO2e, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan, kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik terhitung menjadi Rp 0,58 per kWh (kiloWatt-hour).

“Pemerintah mempertimbangkan untuk me-review kembali pemberlakuan pajak karbon pada Juli 2022 ini. Seluruh peraturan pendukung untuk implementasi pajak karbon saat ini masih terus dimatangkan oleh seluruh kementerian dan lembaga, termasuk kementerian keuangan. Karena kondisi global masih belum cukup kondusif. Pemerintah menilai, masih perlu menyempurnakan skema pasar karbon, karena instrumen ini sangat krusial terhadap pencapaian NDC (National Determine Contribution),” jelas Febrio dalam Konferensi Pers APBN KiTA (Kinerja dan Fakta), yang disiarkan secara virtual (23/6).

Kendati demikian, ia memastikan implementasi pajak karbon akan tetap diberlakukan tahun 2022, sebagaimana amanat dalam UU HPP. Penerapan pajak karbon juga dipastikan akan akan diberlakukan terlebih dahulu terhadap PLTU batu bara dengan mekanisme cap and tax.

“Pemerintah menjalankan penerapan pajak karbon di 2022 sebagai penggerak kebijakan strategis yang menjadi showcase dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 nanti,” ungkap Febrio.

Selain pajak karbon, pemerintah juga akan memperkenalkan instrumen mitigasi perubahan iklim lainnya yang sedang dirancang, yakni Energy Transition Mechanism (ETM).

“Hal ini untuk menunjukkan komitmen pemerintah untuk memensiunkan PLTU batu bara serta mendukung pengembangan pembangkit energi terbarukan,” kata Febrio.

Secara simultan, BKF Kemenkeu juga memperkirakan dampak penerapan pajak karbon 2023 berpotensi menambah penerimaan negara senilai Rp 194 miliar. Sedangkan dampak terhadap tambahan subsidi dan kompensasi listrik senilai Rp 207 miliar. Dari sisi inflasi, dampak penerapan pajak karbon diperkirakan tidak ada.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Perusahan Listrik Negeri (Persero) atau PLN Zulkifli Zaini menyampaikan, penerapan pajak karbon merupakan salah satu upaya bersama membangun industri Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Ia pun mengatakan, PLN telah mulai melakukan uji coba penerapan pajak karbon.

“Transisi EBT dibangun bukan hanya berdasar kebijakan namun juga memerlukan inovasi EBT dalam perkembangannya, sehingga bisa menggantikan pembangkit fosil menjadi pembangkit EBT baseload. Kami sampaikan PLN juga telah melakukan beberapa simulasi biaya pajak karbon. Pada uji coba, biaya pajak karbon adalah sebesar Rp 153 miliar, yang utamanya ditanggung oleh PLN, sisanya oleh IPP (Independent Power Producer),” ungkap Zulkifli.

Ia mengungkapkan, total emisi sektor energi tahun 2020 mencapai 580 juta ton CO2e. Dari jumlah itu, pembangkit fosil mendominasi sebesar 279,3 juta ton CO2e, kemudian transportasi sebesar 132,9 juta ton CO2e, industri manufaktur sebesar 105,1 juta ton CO2e, dari pengolahan batu bara dan emisi fugitive 31,4 juta ton CO2e, sektor kilang minyak sebesar 8,6 juta ton CO2e, dan sektor komersial dan lainnya sebesar 29,4 juta ton CO2e.

“Kami berharap dengan implementasi strategi menuju net zero emission, kita dapat menekan emisi sektor energi menjadi tidak lebih dari 400 juta ton emisi pada tahun 2060″ harap Arifin.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version