Menu
in ,

Pembenahan Pelayanan Publik Kunci Kepatuhan Pajak

Pembenahan Pelayanan Publik

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Senior Advisor TaxPrime sekaligus Dirjen Pajak periode 2000–2021 Machfud Sidik berpendapat, untuk meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela, tidak cukup hanya dengan menggulirkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sebagai bagian dari perbaikan administrasi perpajakan. Diperlukan kesadaran kementerian/lembaga (K/L) maupun pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas seluruh pelayanan publik. Dengan demikian, masyarakat akan sukarela dan bangga menaati peraturan perpajakan.

“Kalau mau bikin patuh itu seharusnya tidak hanya Direktorat Jenderal Pajak saja. Akan tetapi, seluruh pelayanan pemerintahan. Public sector service delivery itu harus ditingkatkan. Karena memang duit pajak dipakai untuk meningkatkan pelayanan masyarakat seperti  puskesmas yang baik, pelayanan pendidikan yang baik, membangun jalan yang baik, kenyamanan lingkungan pemukiman yang baik, dan bahkan pertahanan yang canggih. Jadi, sisi service delivery harus ditingkatkan secara berkelanjutan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan tax compliance.  PPS yang dipercaya sebagai bagian dari perbaikan administrasi perpajakan, dari perspektif teori dan empiris mengandung kontroversi dan secara akademik menyarankan otoritas pajak tidak menerapkan kebijakan ini dalam berbagai bentuknya, ” jelas Machfud kepada Pajak.com, melalui sambungan telepon, (26/3).

Dengan demikian, kepatuhan pajak harus dibangun secara imparsial, dari segala penyediaan barang publik. Dengan pelayanan publik yang baik, maka kredibilitas pemerintah juga akan meningkat—termasuk hak WP terpenuhi dengan baik. Bila konsep peningkatan kepatuhan pajak hanya sebatas dengan menggulirkan PPS, menurut Machfud, justru kredibilitas pemerintah dapat dipertanyakan,  karena berbagai penelitian membuktikan berbagai bentuk tax amnesty mungkin saja akan menambah penerimaan pajak dalam jangka pendek atau menengah, namun dalam jangka panjang justru menjadi counter-productive. WP  akan membangun ekspektasi rasional (rational expectation), WP yang sejak semula kurang patuh akan mengantisipasi adanya kebijakan berulang pengampunan pajak tersebut, dan sebagian WP yang sudah patuh akan mengikuti tidak patuh, dengan harapan akan akan ada lagi kebijakan pengampunan pajak di kemudian hari.  Berdasarkan catatannya sejak tahun 1983, Indonesia telah menggulirkan program pengampunan pajak tahun 1984, sunset policy tahun 2008, tax amnesty 2016–2017, dan PPS pada 1 Januari 2022–31 Juni 2022.

“Saya tetap berpendapat PPS it’s not a  good policy dan berbagai negara di dunia termasuk beberapa negara bagian di Amerika Serikat secara empiris memang menerapkannya dengan berbagai variasinya, dan sebagian kebijakan tersebut dinilai berhasil. Oleh karena itu kebijakan tax amnesty tidak dapat dikatakan sebagai  bad policy, sehingga saya memahami bahwa kebijakan tax amnesty di berbagai negara, termasuk di Indonesia adalah evidence-based. Pengampunan pajak termasuk PPS yang diterapkan di Indonesia bisa jadi bumerang terhadap sistem perpajakan yang menjunjung keadilan di bidang perpajakan. Saya tidak mengetahui data lapangan secara kuantitatif yang ada di data-base Direktorat Jenderal Pajak, yang sampai pada keputusan perlunya PPS, yang seharusnya diikuti dengan perbaikan administrasi perpajakan dengan harapan tidak akan ada lagi kebijakan sejenis. Perbaikan administrasi perpajakan sedemikian canggihnya tidak menjamin seluruh  Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya secara berkelanjutan, tingkat kepatuhan pada kisaran 90% dianggap sistem perpajakan negara tersebut sudah baik. Dalam pengalaman secara empiris, tetap saja (ada potensi) aparat pajak kalah canggih dengan pelaku bisnis, terutama bisnis internasional, misalnya dalam sengketa transfer-pricing” ungkap Peraih Master of Science bidang Public Policy and Management dari Carnegie Mellon University, Pittsburgh, AS ini.

Selain itu, menurut Machfud, pemerintah bisa saja memperoleh tambahan penerimaan pajak, namun dalam jangka panjang PPS dapat merusak sistem perpajakan yang berkeadilan. Segala bentuk pengampunan pajak pada dasarnya bertentangan dengan teori perpajakan yang mengajarkan filosofi keadilan dalam pengenaan pajak.

“Jadi  secara teoritis, filosofi pajak itu antara lain memiliki prinsip keadilan di bidang perpajakan yang harus dipertahankan dan tidak tergiur oleh suatu kebijakan yang sifatnya pragmatis yang hanya mengutamakan penerimaan jangka pendek dan menengah saja. Secara politik, (PPS) memang populer. Upaya-upaya untuk menghindari kewajiban perpajakan tetap saja dilakukan oleh Wajib Pajak, empirisnya memang demikian. Sehingga selain pembenahan sistem administrasi yang berkelanjutan, seharusnya dikuti dengan enforcement yang keras tetap diperlukan,” ungkapnya.

Analisis Machfud seirama dengan laporan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) berjudul “Indonesia: 2022 Article IV Consultation”, yang dirilis beberapa hari yang lalu. Dalam laporan itu, IMF menganalisis, beberapa aturan dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) cenderung memiliki efek merugikan, salah satunya PPS.

“Program Pengungkapan Sukarela memang bisa menghasilkan tambahan penerimaan dalam jangka pendek, tetapi dalam praktiknya amnesti pajak tersebut seringkali mengurangi kepatuhan sukarela. Karena hal itu menciptakan ekspektasi amnesti di masa depan, yang mengakibatkan kerugian jangka panjang yang lebih besar daripada keuntungan jangka pendek,” tulis IMF.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version