Menu
in ,

Pajak Karbon Jadi Sumber Subsidi bagi Masyarakat Rentan

Pajak.com, Jakarta – Senior Associate Lead Energy Taxation International Institute for Sustainable Development Tara Laan menilai, penerapan pajak karbon berpotensi jadi sumber subsidi baru bagi masyarakat rentan. Sebab pajak karbon yang diberlakukan secara luas akan memantik kenaikan harga energi.

“Hasil pajak karbon dapat diarahkan ke kelompok berpenghasilan rendah. Idealnya, ini juga dilakukan dengan mengurangi tarikkan pajak masyarakat miskin. Pada dasarnya, sebagian besar pajak karbon ditarik dari konsumsi bahan bakar atau konsumsi barang masyarakat menengah ke atas. Konsepnya, pajak karbon menyebabkan tarif yang lebih tinggi pada mereka yang menggunakan energi paling banyak,” jelas Tara dalam webinar Katadata Indonesia Data and Economic and Conference (IDE) 2022 bertajuk Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery, dikutip Pajak.com (11/4).

Di sisi lain, kelompok berpenghasilan rendah memiliki dampak yang lebih dalam menghadapi kenaikan harga energi. Pengeluaran rumah tangga mereka akan melonjak, baik pengeluaran untuk listrik; transportasi; hingga keperluan energi sehari-sehari, seperti untuk memasak dan sebagainya.

“Makanya, pemerintah dapat langsung menggunakan pendapatan (penerimaan) dari pajak karbon untuk berinvestasi langsung dalam infrastruktur energi bersih. Hal ini diharap mampu mengamankan aksesibilitas energi yang dapat memberikan alternatif kepada konsumen. Jadi ketika harga bahan bakar fosil naik, mereka punya sesuatu untuk dialihkan, terutama penting untuk memberikan bantuan untuk memasak bersih, karena tentu kita tidak ingin orang beralih kembali ke biomassa, yang jelas sangat tidak sehat,” ungkap Tara.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana. Bahkan, penerimaan pajak karbon bukan hanya dapat digunakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat berpendapatan rendah, melainkan dapat dimanfaatkan untuk dana pembangunan infrastruktur, investasi teknologi ramah lingkungan—stimulus bagi transisi ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Dadan menyebutkan, tarif pajak karbon yang ditetapkan Rp 30 per kilogram atau Rp 30 ribu per ton CO2. Penerapan ini rencananya akan terlaksana mulai 1 Juli 2022 untuk sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai tahap awal. Selanjutnya, implementasi dan perluasan pajak karbon akan dilaksanakan pada 2025. Hal ini seirama dengan kebijakan energi nasional dari transisi energi fosil ke energi bersih yang minim emisi. Pada tahun 2030, sektor energi Indonesia ditargetkan dapat menurunkan emisi sejumlah 314 juta—446 juta ton CO2.

“Harapan tersebut didorong dengan kebijakan pengurangan PLTU dengan tidak ada penambahan, juga PLTU yang ditargetkan akan berhenti beroperasi pada 2056. Tapi Indonesia harus menyediakan dana sebesar 1.042 miliar dollar AS untuk mencapai kapasitas terpasang energi baru dan terbarukan sebesar 587 giga watt pada 2060. Pengurangan energi fosil secara bertahap dan mendorong elektrifikasi kendaraan bermotor dan rumah tangga,” jelasnya.

Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Marjaka menambahkan, tarif pajak karbon harus lebih tinggi agar mendorong para pengusaha melakukan aksi mitigasi.

“Kalau tarif pajak karbon lebih murah dibandingkan harga effort untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030, hal tersebut akan mendorong publik maupun perusahaan lebih memilih membayar pajak daripada melakukan mitigasi. Kalau itu terjadi, pasti target Indonesia’s nationally determined contribution (NDC) tidak akan tercapai,” jelas Wahyu.

Saat ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon, meliputi tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Sementara, aturan teknis lainnya, seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu, agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal, pemerintah juga sedang menyusun pelbagai aturan turunan lain, salah satunya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, yang mengatur tata laksana penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan NDC di KLHK dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves).

“Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain dapat mengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim. Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai polluter pays principle,” jelas Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version