Memahami Praktik Perpajakan dalam Industri “Freight Forwarding”
Pajak.com, Jakarta – Pelaku industri freight forwarding perlu memperhatikan praktik perpajakan dengan cermat dan teliti. Hal itu karena praktik perpajakan di industri tersebut cukup kompleks dan memiliki regulasi pajak tersendiri.
Guna menyamakan persepsi, istilah freight forwarding ini merujuk kepada kegiatan usaha jasa yang melayani proses pengiriman sekaligus penerimaan barang dengan berbagai jenis moda transportasi mencakup transportasi darat, laut, dan udara. Proses pengiriman dan penerimaan barang ini meliputi area domestik maupun internasional.
Perusahaan yang menyediakan jasa freight forwarding atau biasa disebut forwarder tak hanya berfokus pada kegiatan pengiriman dan penerimaan barang, tetapi juga mencakup 21 jenis kegiatan di bidang logistik seperti penyimpanan atau pergudangan, penerimaan, sorting, pengepakan, pengukuran, penandaan, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, pemesanan ruangan pengangkut, pengelolaan, pendistribusian, hingga klaim.
Dalam wawancara dengan Pajak.com, Advisor TaxPrime Li Ling Sudarmiati menjelaskan beberapa kompleksitas praktik perpajakan di industri freight forwarding, antara lain mengenai pengenaan pajak ekspor nol persen, perbedaan penerapan tarif PPN untuk tarif khusus atas PPN Keluaran sehubungan dengan kargo, kerumitan dalam penghitungan PPN Masukan, dan terkait pemotongan PPh Pasal 23 atas penggunaan vendor pihak ketiga atau reimbursement yang sering kali menjadi potensi sengketa dengan pihak otoritas pajak.
“Jadi, industri freight forwarding melibatkan banyak jenis transaksi, bisa jasa impor dan ekspor, jasa domestik dan internasional, jasa custom clearance, hingga berbagai layanan logistik dan pergudangan. Kemudian, itu punya perlakuan perpajakan tersendiri untuk PPN dan PPh-nya,” kata Li Ling Sudarmiati di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (8/8).
Wanita yang menempuh gelar S1 di bidang akuntansi dan S2 di bidang manajemen ini mengingatkan, hal lain yang perlu diperhatikan oleh para pelaku adalah risiko pemahaman karena kerap terjadi perubahan regulasi terkait perpajakan di industri freight forwarding. Ia menyampaikan, apabila risiko pemahaman tidak dimitigasi dengan baik maka akan menyebabkan kekeliruan penerapan perpajakan yang berujung pada denda signifikan.
“Iya, itu regulasi terkait perpajakannya sering berubah,” ujarnya.
Guna memitigasi risiko pemahaman regulasi, imbuhnya, para pelaku industri freight forwarding harus benar-benar aktif memantau perubahan dalam regulasi pajak yang berlaku di Indonesia, mengikuti sosialisasi dari pemerintah maupun organisasi terkait, dan berkonsultasi dengan konsultan pajak yang kompeten sehingga penyesuaian praktik bisnis bisa dilakukan tepat waktu sesuai dengan perubahan peraturan dan tentunya akan meminimalisasi risiko perpajakan, tegasnya.
Ia meyakini, industri freight forwarding di Indonesia cukup berkembang selama beberapa tahun terakhir karena didorong oleh peningkatan permintaan, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan semakin terbukanya perdagangan internasional, walaupun tantangan seperti persaingan yang sangat ketat dan perubahan regulasi tetap menjadi faktor yang perlu diatasi dalam menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan di masa depan. Tentunya, pertumbuhan di industri freight forwarding tanah air perlu dibarengi dengan peningkatan atas kepatuhan perpajakan.
Comments