Menu
in ,

Konsensus Pajak Global, Fokus Penting di Pertemuan G20

Pajak.com, Amerika Serikat – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, konsensus pajak global menjadi salah satu fokus penting dalam G20 Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) Meeting atau pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara G20, di Washington D.C., Amerika Serikat. Urgensi kesepakatan ini didorong oleh tantangan semua negara dalam meningkatkan penerimaan pajak sehingga dapat menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Indonesia berharap konsensus pajak global dapat diselesaikan, sehingga dapat diterapkan secara efektif mulai tahun 2023.

“Kesepakatan pajak global ini sangat penting karena kita menyadari ruang fiskal semua negara sedang menyempit. Karena itulah, langkah konsolidasi dan peningkatan penerimaan pajak menjadi penting. Kesepakatan pajak akan mengatasi persoalan mengenai isu penghindaran pajak dan penggelapan pajak, termasuk yang menyangkut pajak digital,” jelas Sri Mulyani dalam G20 Press Conference: 2nd Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting, yang disiarkan secara virtual (21/4).

Kendati demikian, konsensus pajak global juga membutuhkan dukungan dari organisasi internasional, seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan Asian Development Bank (ADB).

“Semua pihak perlu terlibat agar kesepakatan pajak global dapat tercapai dan membantu semua negara pulih dari krisis. Kita perlu memiliki sumber penerimaan yang jauh lebih baik dan dapat diandalkan, serta memerangi praktik tidak adil dalam perpajakan global,” jelas Sri Mulyani.

Seperti diketahui, negara G20 tengah membahas usulan OECD terkait konsensus pajak yang mencakup dua pilar. Pilar 1: Unified Approach telah diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik. Singkatnya, Pilar 1 mengatur terkait dengan perusahaan multinasional dengan peredaran bruto dan keuntungan tertentu.

“Pilar 1 terkait perpajakan di sektor digital menjadi salah satu isu yang sangat tegang di antara negara-negara G20 maupun di seluruh dunia. Disepakati bagaimana mekanisme perpajakannya, terutama menyangkut sektor digital yang bergerak secara internasional atau global,” ungkap Sri Mulyani.

Sementara, Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE), diyakini dapat mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Adapun tarif pajak minimum akan dikenakan pada perusahaan multinasional yang memiliki peredaran bruto tahunan 750 juta euro atau lebih. Dengan pajak minimum, persaingan tarif antara negara-negara yang selama ini terjadi bisa dihentikan.

“Kedua pilar itu akan menjadi solusi pemajakan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak antarnegara, sehingga memungkinkan terjadinya upaya menghindari pajak. Indonesia mendorong Pilar 1 dan Pilar 2 bisa disepakati dan dijalankan sebagai suatu kebijakan yang efektif pada tahun 2023,” kata Sri Mulyani.

Direktur Pelaksana Bank Dunia periode 2010—2016 ini mengatakan, bila kedua pilar itu dapat dilaksanakan pada tahun 2023, maka selanjutnya akan dilakukan monitoring. Secara simultan, diperlukan juga dukungan lainnya, mengingat masih banyak negara yang membutuhkan bantuan technical assistance, mulai dari membangun peraturan maupun dari sisi kapasitas dari otoritas pajak di masing-masing negara.

“Oleh karena itu, di dalam G20 juga disepakati akan adanya dukungan untuk kapasitas penambahan atau peningkatan kapasitas bagi negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan untuk mengimplementasikan dua pilar itu secara sesuai dengan kesepakatan waktu, yang disebut sangat ambisius, yaitu tahun 2023,” ujar Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version