Menu
in ,

Komitmen Pajak Karbon Indonesia di Forum Menkeu G20

Pajak.com, Amerika Serikat – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tegaskan komitmen penerapan pajak karbon di Indonesia, dalam Forum Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Aksi Iklim yang digelar di Washington D.C, Amerika Serikat (AS). Ia mengungkap, terdapat 65 inisiatif kebijakan karbon di dunia yang telah diimplementasikan, termasuk Indonesia—sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Seluruh dunia juga mulai meninggalkan energi fosil secara bertahap untuk mengurangi emisi karbon di bumi. Adopsi pajak karbon ini adalah bentuk konkret komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, yang dikutip Pajak.com (23/4).

Ia menjelaskan, di Indonesia, pajak karbon akan mulai diberlakukan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pajak karbon dikenakan menggunakan mekanisme cap and trade. Indonesia menargetkan pajak karbon dapat berlaku pada 1 Juli 2022. Ketetapan itu diundur dari rencana awal 1 April 2022 karena menunggu kesiapan mekanisme perdagangan karbon.

“Sebab Indonesia juga harus menyiapkan mekanisme perdagangan karbon yang tidak hanya berlaku di dalam negeri, tetapi juga secara internasional,” ujar Sri Mulyani.

Indonesia meyakini, transisi energi menjadi kunci untuk mencapai ekonomi rendah karbon. Maka dari itu, Indonesia akan berkomitmen untuk terus terlibat dalam koalisi demi mencapai pembangunan rendah karbon.

“Indonesia berharap koalisi ini akan terus memaksimalkan koordinasi dengan 25 institusi mitra dan organisasi multilateral, terutama dengan jumlah anggota yang mencapai 71 negara. Peran aktif para menteri keuangan negara anggota sangat penting karena ke-71 negara tersebut menyumbang 35 persen emisi karbon dan 65 persen PDB (produk domestik bruto) dunia,” jelas Direktur Pelaksana Bank Dunia periode 2010—2016 ini.

Untuk itu, menurut Sri Mulyani, beberapa langkah yang perlu dilakukan, antara lain mempercepat dukungan analisis dan kebijakan untuk transisi hijau di negara anggota, mengembangkan pemahaman tentang pendekatan multilateral dalam penetapan harga karbon dan dampak reformasi harga karbon, serta berinvestasi dalam pelatihan dan analisis dampak.

“Transisi yang adil dan terjangkau harus kita siapkan untuk masa kini dan nanti,” ujarnya.

Sri Mulyani mengatakan, secara umum negara anggota G20 telah menggarisbawahi peran penting keuangan berkelanjutan untuk pemulihan ekonomi global yang inklusif, tangguh dan ramah lingkungan (green), serta pencapaian agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan—sejalan dengan konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim dalam Paris Agreement.

“Para anggota juga berbagi panduan strategis mereka dalam mengembangkan hasil keuangan berkelanjutan. Terdapat dukungan yang luas, bahwa high level framework untuk transisi final harus mencakup berbagai pendekatan dan penyelarasan yang inklusif, praktis, berbasis ilmu pengetahuan, dan melihat ke depan untuk memastikan bahwa hal itu dapat memungkinkan pasar keuangan memfasilitasi transisi iklim,” ungkapnya.

Secara simultan, negara anggota G20 juga mempertimbangkan peningkatan kredibilitas komitmen lembaga keuangan dalam mengembangkan seperangkat kebijakan instrumen berkelanjutan. Beberapa anggota menyoroti pentingnya meningkatkan fasilitas risiko, mengeksplorasi instrumen keuangan berkelanjutan di luar obligasi, sembari mempertimbangkan keadaan khusus suatu negara. Selain itu, para anggota juga menunjukkan perlunya dukungan untuk usaha kecil dan menengah (UKM). Rangkaian usulan itu akan dibahas dalam pertemuan selanjutnya.

“Beberapa anggota menegaskan kembali komitmennya untuk meneruskan aksi dari peta jalan keuangan berkelanjutan G20, dan para anggota juga berharap dapat melanjutkan dialog dalam Forum  Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 yang ketiga di Bali pada 15 hingga 16 Juni 2022 mendatang,” kata Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version