in ,

IWPI Kritik Pengetatan Syarat Kuasa Hukum Pajak dalam Rancangan PMK Ini 

IWPI Kritik PMK
FOTO: IST

IWPI Kritik Pengetatan Syarat Kuasa Hukum Pajak dalam Rancangan PMK Ini 

Pajak.com, Jakarta – Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) kritik Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Persyaratan, Permohonan, Perpanjangan, dan Pencabutan Sebagai Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak. Ketua Umum IWPI Rinto Setiyawan berpandangan, RPMK tersebut memperketat persyaratan menjadi kuasa hukum pajak. Menurutnya, langkah ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemindahan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung (MA).

Sebagai informasi, RPMK yang akan menggantikan PMK Nomor 184 Tahun 2017 itu mewajibkan kuasa hukum pajak memiliki Surat Keterangan Kompetensi (SKK) atau izin praktik konsultan pajak, serta harus berpengalaman kerja selama dua tahun di bidang perpajakan, akuntansi, atau hukum dalam 5 tahun terakhir. Kemudian, Wajib harus memiliki gelar sarjana atau Diploma IV dan tidak boleh menjabat Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat negara.

Baca Juga  Bea Cukai Fasilitasi Ekspor Perdana 6 Ribu Ton CPO ke India, Negara Raup Rp14,55 Miliar

Menurut Rinto, Kemenkeu bukan lembaga yang berwenang mengatur syarat kuasa hukum pajak. Sebab penyusunan syarat harus mengikuti putusan MK Nomor 26/PUU XXI/2023, yang menyatakan bahwa pengadilan pajak harus dipindahkan ke bawah MA paling lambat 31 Desember 2026.

“Apakah pengetatan syarat akan menjamin lebih banyak kemenangan bagi Wajib Pajak? Justru ini memperdalam otoritarianisme fiskal,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (20/6/25).

IWPI yang lahir dari pengalaman banyak Wajib Pajak khawatir, PMK tersebut dapat membatasi akses masyarakat terhadap advokasi pajak.

Di sisi lain, Rinto menegaskan bahwa IWPI mendukung profesionalisme, namun penetapan standardisasi harus berdasarkan pada data objektif. Ia merujuk pandangan pakar seperti Alessandro Rey—yang menyebut PMK ini belum berbasis data.

Baca Juga  Meninjau Kebijakan Pajak atas Air di Indonesia

“Mana data kuasa hukum pajak yang merugikan Wajib Pajak atau yang tidak? Kalau goals-nya menaikkan kualitas advokasi, data awalnya wajib dipunya oleh menteri keuangan,” imbuh Rinto.

Menurutnya, Rey pun mempertanyakan fokus kompetensi dari kuasa hukum pajak, “apakah kompetensi akuntansi atau hukum yang dibenahi? Saya khawatir PMK ini dijadikan monopoli satu lembaga untuk bisnis pelatihan.”

Konflik Aturan dan Implementasi

Rinto khawatir, PMK ini semakin menunjukkan praktik filter ganda karena akses advokat pajak dikendalikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kemenkeu. Putusan MK 26/PUU XXI/2023 menegaskan posisi Kemenkeu yang tidak bisa lagi ikut mengatur lembaga peradilan, termasuk syarat kuasa hukum pajak.

“Kemenkeu seharusnya hanya pembuat regulasi dan pelaksana, bukan pengadil. Kalau masih kontrol kuasa hukum pajak, berarti kapabilitas peradilan pajak tidak berkembang,” tegas Rinto.

Baca Juga  Asosiasi Minta Implementasi Pemungutan Pajak oleh “Marketplace” Diundur Hingga 2027, Ini Tanggapan DJP

Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa posisi kuasa hukum pajak seharusnya diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak dan peraturan MA dan bukan PMK.

IWPI Sarankan Pembenahan Sistemik

IWPI menyarankan tiga langkah strategis:

  1. Patuhi putusan MK terkait pemindahan struktur lembaga;
  2. Revisi PMK agar berbasis data kompetensi dan bukan pengkondisian bisnis pelatihan; dan
  3. Libatkan lembaga independen,  MA, dan asosiasi pengacara pajak dalam menetapkan standardisasi profesi kuasa hukum pajak.

“Kebijakan memperketat syarat kuasa hukum pajak dinilai IWPI bukan pengayoman, melainkan upaya kontrol berlebihan oleh eksekutif atas akses keadilan. Sebaliknya, independensi dan prosedur peradilan yang fair dianggap jauh lebih berkontribusi terhadap perlindungan hak rakyat,” pungkas Rinto.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *