Ekonom Sebut Penerimaan Pajak 2025 Berat, Perlu Naik 13,29 Persen untuk Capai Target
Pajak.com, Jakarta – Lembaga riset ekonomi Bright Institute menyatakan bahwa target penerimaan pajak tahun 2025 akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah. Dengan realisasi pajak tahun 2024 yang hanya mencapai 97,2 persen dari target, pemerintah harus meningkatkan penerimaan pajak hingga 13,29 persen di tahun 2025 untuk mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebagaimana diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan realisasi penerimaan pajak dalam APBN 2024 tidak capai target. Realisasi sementara hingga akhir Desember 2024 penerimaan pajak hanya mampu terkumpul Rp1.932,4 triliun atau 97,2 persen dari target Rp1.988,9 triliun.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai, kinerja yang ditampilkan dalam angka-angka realisasi sementara tersebut memperberat pengelolaan APBN di 2025. Pasalnya, penerimaan pajak pada APBN 2025 diproyeksikan sebesar Rp2.189,3 triliun. Sehingga, menurutnya, pemerintah perlu mencapai kenaikan sebesar 13,29 persen tahun ini.
“13,29 persen ini merupakan target kenaikan yang sangat tinggi jika dilihat data historis selama ini. Apalagi ditambah dengan kondisi perekonomian 2025 yang diproyeksikan belum akan lebih baik dari tahun 2024,” ujar Awalil dalam keterangan resmi, dikutip Pajak.com pada Senin (13/1/2025).
Ia juga menyoroti bahwa penerimaan pajak jenis Pajak Penghasilan (PPh) memiliki shortfall terdalam pada tahun 2024, yaitu hanya 93,2 persen dari target. Untuk tahun 2025, pemerintah harus meningkatkan penerimaan PPh sebesar 13,79 persen. “Target ini sudah tidak lagi realistis berdasar data historis dan kondisi perekonomian terkini,” tegas Awalil.
Kondisi Ekonomi dan Tantangan Target Pajak
Menurut Awalil, shortfall dalam penerimaan pajak menunjukkan adanya indikasi lesunya perekonomian. “Transaksi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tidak sesuai harapan. Ini terkonfirmasi pula dalam laporan tersebut bahwa pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen atau di bawah target 2024,” jelasnya.
Kemenkeu sebelumnya mengklaim bahwa kinerja APBN 2024 tetap sehat dan kredibel, meski angka realisasi menunjukkan hal sebaliknya. Dalam laporan tersebut, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5 persen dari asumsi dasar 5,2 persen, sementara nilai tukar rupiah, yield SBN, serta lifting minyak dan gas semuanya di bawah target.
“Contohnya realisasi sementara defisit APBN 2024 nilainya secara nominal Rp507,8 triliun memang lebih rendah dari target APBN yang sebesar Rp522,8 triliun. Namun secara rasio atas PDB (produk domestik bruto), nilainya tidak lebih rendah dari target, yakni persis di 2,29 persen. Dengan kata lain, nilai PDB dan pertumbuhan ekonomi di 2024 realisasinya lebih rendah,” jelas Awalil.
Manurut Awalil, selain pertumbuhan ekonomi, hampir seluruh asumsi pemerintah tersebut meleset dari realisasinya. “Hanya inflasi yang nilainya lebih rendah dari target asumsi pemerintah. Dan inflasi yang lebih rendah dari asumsi ini pun bukan berarti menunjukkan hal yang selalu positif di masyarakat, sebagaimana kita tahu faktor menurunnya daya beli masyarakat sangat menahan tingkat inflasi dengan rendahnya permintaan,” ungkap Awalil.
Dengan beban berat dalam mencapai target APBN 2025, Awalil menilai pemerintah perlu segera menyusun APBN Perubahan. “Dibutuhkan segera menyusun APBN Perubahan yang lebih mencerminkan arah kebijakan pemerintahan Prabowo,” ujarnya.
Ia juga menekankan perlunya pengurangan belanja dengan mempertajam prioritas serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Menurut Awalil, langkah-langkah tersebut menjadi kunci agar pengelolaan keuangan negara tetap terkendali di tengah kondisi yang semakin menantang.
Comments