Menu
in ,

APPBI Inginkan Penundaan PPN Naik 11 Persen

Pajak.com, Jakarta – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja inginkan penundaan PPN yang naik dari 10 persen menjadi 11 persen yang berlaku mulai 1 April 2022. APPBI menilai, penundaan dilakukan untuk menunggu kondisi perekonomian dan kesehatan di Indonesia membaik seutuhnya. Pemulihan keduanya diproyeksikan terjadi dua sampai tiga tahun ke depan.

Seperti diketahui, rencana pemerintah menaikkan PPN 11 persen telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Kalau sudah menjadi lebih baik, saya kira bisa saja pemerintah melaksanakan kenaikan PPN tersebut. Tapi sekarang kondisinya begitu berat, di situasi yang sekarang sangat berat,” kata Alphonzus dalam keterangan tertulis yang dikutip Pajak.com(11/3).

APPBI memperkirakan, tiga potensi utama yang akan menimbulkan masalah apabila tarif PPN tetap dinaikkan pemerintah tahun ini. Pertama, kenaikan tarif PPN akan menambah ketidakseimbangan kondisi ekonomi pusat perbelanjaan off-line yang sebelumnya telah dibebani oleh berbagai macam aturan.

“Perlakuan perpajakan antara pusat perbelanjaan on-line dan off-line tidak seimbang. Off-line itu dibebani berbagai macam aturan, berbagai macam pajak.  Tetapi on-line diberikan berbagai macam kemudahan sehingga penjualan off-line terkekang terus, salah satunya dari sisi perpajakan yang tidak seimbang. Kalau sekarang ditambah dengan peningkatan PPN akan bertambah lagi, ketidakseimbangan tersebut,” ujar Alphonzus.

Kedua, kenaikan tarif PPN akan memberatkan kalangan menengah ke atas yang menjadi produsen. Terlebih, di tengah kondisi ketidakpastian global akibat dampak perang Rusia dan Ukraina dan pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya pulih.

“Kenaikan PPN tidak mampu diserap oleh produsen, sehingga mereka akan membebankan kenaikan tersebut kepada harga barang atau produk. Tentunya ini akan menambah lagi potensi kenaikan biaya-biaya. Ini dikhawatirkan akan mengganggu proses pemulihan ekonomi nasional ditambah lagi dengan ketidakpastian global yang sekarang ini sedang kita hadapi bersama,” kata Alphonzus.

Di lain sisi, Indonesia memiliki posisi pasar yang kuat untuk perdagangan dalam negeri dibandingkan negara-negara tetangga. Namun, dengan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen, pemerintah justru menambah beban bagi produsen. Padahal banyak negara lain yang memberikan kemudahan dari sisi perdagangan.

Ketiga, bila produsen memutuskan menaikkan harga, maka produk akan lebih sulit terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah yang saat ini daya belinya juga masih belum pulih.

“Itulah yang kami sampaikan kepada pemerintah. Kami sebelumnya (saat dengar pendapat penyusunan UU HPP di Dewan Perwakilan Rakyat/DPR), sudah meminta untuk membatalkan wacana kenaikan tersebut, tetapi pemerintah mempunyai keputusan yang lain. Akhirnya, tetap diputuskan untuk naik meskipun secara bertahap,” tambah Alphonzus.

Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Ia menilai, meskipun kebutuhan sembako tidak dikenakan PPN oleh pemerintah, tapi dikhawatirkan penjual akan tetap menyesuaikan harga di level konsumen.

“Karena ini adalah momentum penyesuaian harga barang. Selain karena Ramadan juga, di mana permintaan barang baik pangan dan nonpangan naik tinggi. Kalau tarif PPN naiknya bukan bersamaan dengan Ramadan persoalan mungkin akan berbeda,” kata Bhima.

Menurutnya, produsen sebenarnya telah menaikkan harga di level konsumen. CELIOS mencatat, sepanjang kuartal IV-2021 harga di level produsen sudah naik 8,7 persen bila dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama. Jangan sampai kenaikan PPN ini dimanfaatkan untuk menaikkan harga final di atas 2 persen—3 persen.

“Data keyakinan konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan, pada Februari terjadi penurunan ke level 113, pengeluaran kelompok paling bawah terbukti paling terimbas kenaikan harga sembako, jadi kelompok ini sensitif terhadap penyesuaian harga barang. Sementara, indeks ketersediaan lapangan kerja yang turun dari 96,5 ke 89,9, juga menunjukkan masyarakat masih banyak yang pendapatannya terimbas oleh pandemi. Jika kenaikan harga pada puasa dan lebaran akibat kenaikan PPN menjadi 11 persen, maka diproyeksikan inflasi pada April akan ada di kisaran 3 persen sampai dengan 4 persen dibandingkan tahun kemarin,” ungkap Bhima.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version