Menu
in ,

APINDO: Target Penerimaan Pajak 2022 Memberatkan

Pajak.com, Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menilai target penerimaan pajak tahun 2022 terbilang cukup tinggi. Sehingga hal ini akan memberatkan kalangan dunia usaha apabila penyebaran kasus COVID-19 masih meningkat dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tetap berlanjut. Penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 ditetapkan sebesar Rp 1.262,92 triliun atau meningkat 10,5 persen dibandingkan outlook tahun 2021 yang sebesar Rp 1.142,5 triliun.

“Kalau (kondisi masih) belum seperti diharapkan, itu (target penerimaan pajak) tentu memberatkan,” kata Hariyadi di CNBC TV, pada (20/8).

Selain itu, ia memandang kunci dari realisasi target penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi adalah menurunnya angka COVID-19 yang juga diiringi dengan akselerasi vaksinasi di seluruh Indonesia. Seperti diketahui, dalam RAPBN 2022, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan mencapai 5 persen hingga 5,5 persen atau lebih tinggi dari proyeksi tahun 2021 yang hanya sebesar 3,7 persen—setelah ada lonjakan kasus COVID-19 di bulan Juli yang bermuara pada penetapan PPKM yang masih berlaku hingga saat ini.

“Jadi semua tergantung dari pemulihan nanti, kalau PPKM bisa diakhiri itu target pajak (2022) memungkinkan,” kata Hariyadi.

Padahal menurut Presiden Direktur PT Hotel Sahid Jaya International Tbk ini tren pemulihan ekonomi sebenarnya sudah cukup bagus sejak akhir tahun lalu, selepas kontraksi dalam pada kuartal II-2020. Namun, ketidakmampuan pemerintah mengendalikan penyebaran kasus COVID-19 varian delta membuat ekonomi kembali tertekan di tahun 2021 ini.

Hariyadi berharap target pajak itu tidak bersifat pasti. Fleksibilitas harus tetap diutamakan, sehingga saat ekonomi tumbuh tidak seperti yang diharapkan, pemerintah dapat memperlebar defisit anggaran.

Hariyadi juga berharap, pemerintah tetap melanjutkan pemberian insentif pajak kepada sektor-sektor yang masih terpuruk karena pandemi. Meskipun ia memahami pemerintah sudah mulai selektif dalam menentukan pemberian insentif pajak.

“Pariwisata dan perhubungan itu kan mesti dibantu karena masih berat dan belum pulih,” kata Hariyadi.

Sebelumnya, ia telah memaparkan efektivitas insentif pajak bagi dunia usaha selama pandemi COVID-19.

Pertama, insentif pajak penghasilan (PPh) 25. Menurutnya, selama pandemi perusahaan harus tetap setor PPh 25 meski mengalami kerugian. Hal itu terjadi karena pemungutan PPh 25 diangsur setiap bulan, tetapi kerugian atau keuntungan usaha baru diketahui pada akhir tahun.

“Contoh, perusahaan untungnya Rp 1,2 miliar tahun 2019, maka di tahun 2020 mereka harus mencicil perbulannya Rp 1,2 miliar dibagi 12, yaitu Rp 100 juta. Nah, pada tahun lalu, PPh 25 itu diberikan keringanan bulanannya saja, enggak bayar Rp 100 juta, tapi bayar Rp 70 juta. Saat 31 Desember 2020, sebetulnya baru akan terlihat perusahaan itu untung atau rugi. PPh 25 prinsipnya kalau rugi nggak bayar, yang terjadi adalah kita lebih bayar. Katakanlah hotel yang ada di Bali. Jadi Rp 70 juta itu dikali 12 (bulan), masuk lebih bayar, padahal dia rugi,” ungkap Hariyadi.

Kedua, pemerintah memberi kebijakan untuk penghasilan tidak kena pajak (PTKP) PPh 21 yang pada 2020 menjadi Rp 200 juta. Menurut Hariyadi, kebijakan itu tidak banyak menolong pengusaha. Sebab penghasilan karyawan di perusahaan yang terdampak COVID-19, tidak sampai berpenghasilan Rp 200 juta.

“Kalau Rp 200 juta per tahun, berarti penghasilannya per bulan Rp 16,7 juta. Jadi yang banyak menikmati itu perusahaan-perusahaan yang enggak terdampak, kira-kira begitu ilustrasinya,” tambahnya.

Ketiga, insentif pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah juga dirasa tidak maksimal karena diberikan di akhir tahun saja. Selain itu, tak banyak pemerintah daerah yang memberikan insentif perpajakan.

“Perpajakan daerah berbeda-beda, ada yang memberi diskon pajak bumi dan bangunan (PBB), seperti Jakarta yang memberi diskon 20 persen tapi di ujung tahun, di bulan Desember. Yang artinya jadi tidak maksimal karena perusahaan sudah bayar pada waktu-waktu sebelumnya. Secara umum yang memberikan insentif jumlahnya masih sedikit dibandingkan yang tidak memberi insentif pajak,” ungkap Hariyadi.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version