Menu
in ,

APINDO: Pengusaha Sebaiknya Ikut Tax Amnesty Jilid II

Pajak.com, Jakarta – Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Suryadi Sasmita mengingatkan, sebelum diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebaiknya pengusaha mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang populer disebut sebagai tax amnesty (TA) jilid II mulai 1 Januari-Juni 2022. Pasalnya, kini DJP telah memiliki beragam amunisi untuk mempersempit praktik penghindaran pajak, antara lain data dari automatic exchange of information (AEoI), pengembangan core tax system, integrasi nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

“Kita sebagai pengusaha harus ikut berterima kasih diberikan kesempatan lagi, program Tax Amnesty Jilid II ini harus kita cermati, AEoI dari beberapa negara yang sudah masuk ke kantor pajak. Oleh sebab itu, sebelum semua itu dapat diperiksa, sebaiknya jangan sungkan-sungkan untuk ikut serta. Kenapa? Ini bocoran, ya. Karena di kantor pajak sudah ada sistem IT (informasi teknologi) baru, dimana di tahun 2020 sudah di set up. Tahun 2023 enggak bisa lari lagi,” jelas Suryadi dalam webinar Sosialisasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang selenggarakan APINDO, pada (25/10).

Presiden Direktur PT Indonesia Wacoal ini mengingatkan, jika WP sampai diperiksa karena tidak mengikuti TA, maka akan dikenakan denda 200 persen. APINDO pun berkomitmen untuk menyosialisasikan program ini kepada seluruh anggota.

“Ini hati-hati daripada kena, mending ikuti. Untuk orang yang pernah ikut TA, ini merupakan suatu insentif,” jelas Suryadi.

Ia juga menyarankan agar pengusaha tidak mendaftarkan program ini di akhir batas waktu. Hal ini untuk mengantisipasi masalah yang terjadi dalam sistem DJP. Di sisi lain, pengusaha juga tidak terlalu tergesa-gesa dalam memanfaatkan program ini.

“Jangan mencoba-coba di akhir tempo, karena ketika membludak sistemnya bisa nge-hang juga. Ini belajar dari tax amnesty 2016 lalu, kebanyakan WP OP (orang pribadi) dan badan baru melapor saat periode program nyaris berakhir, sehingga sistem kantor pajak sempat bermasalah,” ungkap Suryadi.

Ia meyakini, masih ada pelaku usaha yang belum melaporkan keseluruhan harta mereka kepada DJP.

Tax amnesty pertama tahun 2016 yang mengikuti hanya 1 jutaan peserta, sementara target kita 10 juta. Mereka semua saat itu sangsi, apakah ini jebakan. Kami mengapresiasi DJP atas program yang memberi kesempatan pengusaha mendeklarasikan (harta),” kata Suryadi.

Di sisi lain, APINDO mempertanyakan persyaratan yang tertuang dalam TA jilid II, yakni kewajiban untuk menempatkan dana di surat berharga negara (SBN).

“Kalau dimasukkan ke bond, kan, tidak ada pertumbuhan ekonomi, mati lima tahun ditaruh di sana. Bagi pengusaha, mungkin ada opsi dana yang di deklarasi atau repatriasi boleh digunakan sebagai belanja modal oleh peserta tax amnesty, sehingga dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi juga lebih terasa. Kalau bisa dipertimbangkan,” kata Suryadi.

Namun, menurutnya, bagi WP OP non-pengusaha, persyaratan penempatan harta di SBN terbilang tepat.

“Sekarang taruh di bond ada 6 persen dan pajak SUN (surat utang negara) sekarang turun 10 persen. Anggap saja 1 tahun lebih enggak terima kupon, tapi duit kita dari gelap ke terang,” kata Suryadi.

Di kesempatan yang sama, Dirjen Pajak Suryo Utomo menegaskan bahwa sejatinya PPS yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), berbeda dengan tax amnesty yang diselenggarakan 2016-2017.

“Kalau untuk ini (PPS) paling tidak sudah mulai mengumpulkan data dan informasi. Nah, kami memberi kesempatan kepada WP, sebelum kami turun lebih jauh, silakan dimanfaatkan program ini,” jelasnya.

Suryo menjelaskan, berdasarkan RUU HPP, pemerintah membagi dua subjek PPS, yakni WP OP dan WP badan peserta tax amnesty 2016 dan WP OP bukan peserta tax amnesty 2016. Berikut rincian ketentuannya:

  1. Bagi WP OP dan badan peserta tax amnesty 2016 yang belum mengungkapkan aset perusahaan sampai 31 Desember 2015 saat TA 2016, maka akan dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 11 persen untuk deklarasi di luar negeri.
  2. Tarif PPh final menjadi 8 persen untuk deklarasi aset di dalam negeri atau aset di luar negeri yang direpatriasi.
  3. Tarif 6 persen untuk aset di dalam negeri atau aset di luar negeri yang direpatriasi dan diinvestasikan dalam SBN atau usaha energi baru dan terbarukan.
  4. Bagi WP OP yang belum melaporkan aset 2016-2020 dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan 2020, maka bakal dikenakan tarif PPh final 18 persen untuk deklarasi aset di luar negeri.
  5. Tarif 14 persen untuk aset di dalam negeri atau aset di luar negeri yang direpatriasi.
  6. Tarif 6 persen untuk aset di dalam negeri atau aset di luar negeri yang direpatriasi dan diinvestasikan dalam SBN atau energi baru dan terbarukan (EBT).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version