Menu
in ,

Pro dan Kontra Penerapan Pajak Karbon

Pro dan Kontra Penerapan Pajak Karbon (Carbon Tax)

FOTO: IST

Pada Oktober 2021 lalu, pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah diundangkan menjadi UU No. 7 tahun 2021. Salah satu kebijakan perpajakan yang ditambahkan adalah penerapan carbon tax atau pajak karbon.

Penerapan pajak karbon (Carbon Tax) ini merupakan salah satu upaya Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim yang sedang gencar dilakukan oleh seluruh dunia. Mengingat Indonesia menduduki peringkat ke-8 sebagai negara penghasil emisi terbanyak di dunia. Indonesia menyatakan komitmennya di Paris Agreement pada 2015 yang silam. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% tanpa syarat dan 41% dengan bantuan internasional.

Penerapan pajak karbon ini akan di mulai pada April 2022. Penerapan pajak akan dilakukan secara bertahap. Yang akan dikenakan pada tahap pertama adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Ada 3 sektor penyumbang emisi terbanyak di Indonesia, terbanyak adalah pembangkit listrik, diikuti transportasi dan industri. Sebanyak 61% sumber listrik Indonesia berasal dari PLTU batu bara.

Penerapan pajak karbon ini akan menimbulkan pro dan kontra. Keuntungan dari kebijakan ini adalah selain meningkatkan penerimaan negara, dana yang terkumpul nanti akan dialokasikan untuk pembiayaan insentif ke sektor lain yang lebih urgen yang mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti proyek-proyek ramah lingkungan, pendidikan, inovasi energi terbarukan, dan lain-lain. Setidaknya ada dua kontra yang akan ditimbulkan akan hal ini.

Pertama, dengan penerapan pajak karbon pada perusahaan-perusahaan, dalam hal ini PLTU batu bara, tentunya akan mempengaruhi harga produk seperti tarif harga listrik, sehingga kemungkinan masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan menjangkaunya. Apalagi, saat ini Indonesia sedang dalam tahap pemulihan ekonomi. Jadi, penerapan pajak karbon bukan solusi efektif jika dilakukan secara agresif.

Kedua, penerapan pajak karbon ini akan menambah beban perusahaan, sehingga bisa mempengaruhi harga emiten saham, apalagi jika saat itu keadaan perusahaan saat itu sedang tidak baik (Dustin Dana Pramitha, 2021).

Yang menjadi subjek pajak karbon ini adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan yang menghasilkan karbon dan/atau membeli barang yang mengandung karbon. Tarif yang disepakati adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau Rp 30.000 atau kurang dari US$ 3 per ton CO2e. Menurut Sri Mulyani, angka ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan tarif yang disarankan Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, yaitu US$ 125 per ton CO2e.

Kanada juga menerapkan tarif pajak karbon sebesar US$ 4 per ton CO2e. Penerapan pajak karbon di negara maju seperti Kanada ini juga memicu pro dan kontra. Bahkan Perdana Menterinya hampir kalah dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, memang sangat tepat jika pajak karbon dilakukan secara bertahap, tidak agresif. Hal ini tentunya sangat tepat sebagai upaya pengurangan emisi. Namun, perlu dipertimbangkan juga agar masyarakat dan pelaku usaha tidak kesulitan.

 

* Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Sumatera Utara, Fakultas: Ilmu Sosial-Ilmu Politik, Jurusan: Administrasi Perpajakan, Angkatan: 2019

* Informasi yang disampaikan dalam Artikel ini Sepenuhnya merupakan Tanggung Jawab Penulis

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version