Menu
in ,

Pajak Karbon, dan Skema Pengenaannya

Melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah mengeluarkan statement mengenai pengenaan pajak karbon yang disahkan pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis, 7 Oktober 2021. Pengenaan pajak karbon ini ditujukan pada pemakaian bahan bakar yang memiliki kandungan karbon seperti minyak, gas, dan batu bara.

Pajak karbon ini membuat individu yang akan membeli barang dengan cara pembuatannya melalui proses produksi padat karbon menanggung biaya tambahan. Lantaran produksi barang tersebut dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Dalam penerapan pajak karbon, pemerintah mempunyai tujuan untuk mengurangi difusi karbon yang dapat mengakibatkan perubahan iklim. Sehingga terjadi pemanasan global yang sangat tinggi. Penerapan pajak karbon dapat menimbulkan kenaikan harga karena bertambahnya biaya produksi. Daya beli masyarakat akan ikut melemah karena tingginya harga barang dan hal ini juga berdampak pada pengusaha dengan kemungkinan akan sulit bersaing di pasar ekspor.

Pajak Karbon juga memiliki beragam dampak, baik secara tidak langsung maupun langsung pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Bertambahnya biaya mendorong pengusaha untuk mengurangi pengeluaran bisnis yaitu dari sisi tenaga kerja dapat menimbulkan pengangguran. Dengan diterapkannya akan menciptakan bumi sebagai tempat yang layak ditinggali generasi selanjutnya. Pajak karbon patut didukung sebagai langkah awal untuk memulainya.

Pemerintah juga menyiapkan skema-skema untuk upaya mengurangi difusi yang diakibatkan oleh karbon. Pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan dua skema dalam pengenaan pajak karbon. Skema pertama Cap and Trade, dan skema kedua Cap and Tax.

Pada skema Cap and Trade, Sri Mulyani memberikan gambaran sebagai berikut:

Ada sebuah pembangkit A yang menghasilkan CO2 melebih cap. Sementara ada pembangkit B yang menghasilkan emisi di bawah cap. Maka, pembangkit A harus membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) kepada pembangkit B. Cara lain, pembangkit A bisa membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE).

Pada Skema Cap and Tax, Sri Mulyani memberikan juga gambaran sebagai berikut:

Pembangkit A lalu memberi SIE dari pembangkit B. Akan tetapi, masih ada sisa kelebihan CO2 yang belum bisa ditutup dengan hasil pembelian SIE tersebut. Maka sisa emisi tersebut yang akhirnya bakal dikenai pajak karbon. Harganya ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Penetapan cap pajak karbon untuk pembangkit batu bara ini akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Pajak di sektor ini jadi tahap awal yang berjalan pada 2022 sampai 2024. Pemerintah mengenakan tarif yang cukup rendah, yakni Rp 30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e). Nilainya hanya separuh dari rencana awal mencapai Rp 75 per kg CO2e. Dan pada 2025, implementasi pengenaan pajak karbon dilakukan secara penuh sesuai kesiapan masing-masing industri. Karena ada perdagangan karbon, maka prosesnya akan dijalankan melalui bursa karbon.

 

* Penulis Adalah Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA), Jurusan: Akuntansi, Angkatan: 2018

* Informasi yang disampaikan dalam Artikel ini Sepenuhnya merupakan Tanggung Jawab Penulis

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version