Listrik Kena Pajak, Tarif Listrik akan Melambung Tinggi?
Sejak tanggal 5 Januari 2022, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan baru tentang pengenaan pajak listrik melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Kebijakan ini menuai pro dan kontra, terutama dari kalangan masyarakat yang khawatir tarif listrik akan melonjak drastis. Tapi, benarkah pajak listrik otomatis membuat harga listrik naik? Simak di pajak.com!
Pajak Listrik Resmi Diberlakukan, Apa Dampaknya untuk Kantong Kita?
Meskipun UU HKPD telah diberlakukan sejak tahun 2022, namun banyak Peraturan Daerah yang mengatur terkait pelaksanaan UU tersebut baru-baru ini, di tahun 2024 silam. Faktanya, pajak listrik adalah salah satu sumber penerimaan daerah yang ditujukan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik, khususnya di daerah tersebut. Namun, tarif listrik tidak serta-merta mengalami kenaikan dengan dikenakannya pajak daerah. Dalam Pasal 50 disebutkan bahwa penjualan, penyerahan, dan/atau tenaga listrik, yang merupakan tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik, merupakan objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). PBJT adalah pajak daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah di tingkat II, yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Disebutkan dalam UU bahwa tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen, kecuali untuk tempat-tempat khusus sebagaimana diatur dalam UU. Berikut adalah variasi tarif PBJT Tenaga Listrik (PBJT-TL) untuk rumah tangga di lima kota terbesar di Indonesia.
Mengingat bahwa PBJT-TL dikelola oleh daerah maka setiap daerah dapat menetapkan tarif pajak yang berbeda-beda. Daerah dengan ekonomi kuat dimungkinkan dapat menetapkan tarif pajak lebih tinggi tanpa memberatkan warganya. Sementara itu, daerah dengan ekonomi lemah mungkin akan menetapkan tarif pajak yang lebih rendah untuk mengantisipasi penurunan kemampuan ekonomi warga setempat. Oleh karena itu, pajak yang dikenakan terhadap warga suatu daerah dapat berbeda besarnya dengan warga daerah lain. Lalu, apakah pajak ini akan menaikkan tarif listrik? Simak gambar di bawah ini!
Gambar di atas merupakan bukti pembayaran pembelian listrik dengan daya 900 VA untuk pilihan nominal sebesar Rp200.000,00. Namun, jika dilihat, token yang sebenarnya dibeli adalah hanya sebesar Rp188.679,00, sedangkan pajak yang dikenakan terhadap pembelian listrik tersebut adalah sebesar Rp11.321,00. Hal ini berarti bahwa opsi nominal yang yang ditawarkan merupakan harga setelah pajak, sehingga secara tidak langsung, pajak tidak akan menaikkan harga listrik yang dibayarkan, namun akan mengurangi jumlah stroom/token yang dibeli. Jumlah token yang dibeli akan memengaruhi jumlah kWh yang akan didapatkan. Persentase atau nominal jumlah pajak yang dibayarkan akan berbeda-beda, mengikuti Peraturan Daerah masing-masing tempat.
Perlu diketahui bahwa PBJT-TL tidak akan dikenakan untuk konsumsi tenaga listrik oleh instansi pemerintah; tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik; panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu dan tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; serta konsumsi tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Perda.
Pembelian listrik rumah tangga dengan daya di atas 6.600 VA akan menanggung pajak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan daya di bawahnya, karena juga akan dikenakan PPN sebesar 12 persen. Pengenaan tarif ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Kebijakan ini menyasar kelompok berpenghasilan tinggi untuk memikul beban pajak yang lebih besar, salah satunya, untuk mencapai tujuan redistribusi pendapatan kepada kelompok berpenghasilan rendah melalui program-program yang diselenggarakan oleh pemerintah. Selain itu, pelanggan bisnis kecil dan menengah dengan daya di atas 2.200 VA serta pelanggan industri dan komersial dengan daya besar juga akan dikenakan PPN.
Meskipun tarif listrik rumah tangga tidak secara langsung naik, pajak listrik bisa memicu efek domino pada sektor lain. Industri, misalnya, mungkin akan menanggung beban pajak, baik PPN dan PBJT-TL yang signifikan lebih besar. Hal ini akan memicu industri usaha untuk menaikkan harga produk yang dijual. Akibatnya, biaya hidup masyarakat pun cenderung ikut meningkat. Kenaikan harga pada sektor-sektor utama lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan, juga dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Jika tidak diantisipasi melalui kebijakan produktif lain, dapat mengarah pada penurunan kesejahteraan sosial.
Solusi Cerdas Hadapi Pajak Listrik!
Menghadapi pajak listrik memerlukan upaya yang strategis dan terencana, terutama bagi rumah tangga. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan efisiensi penggunaan listrik. Mengganti peralatan elektronik dengan perangkat hemat energi dan menerapkan kebiasaan sederhana, seperti mematikan perangkat yang tidak digunakan, dapat membantu mengurangi listrik sehingga secara langsung juga mengurangi beban pajak yang harus dibayar. Selain itu, memanfaatkan sumber energi terbarukan, seperti panel surya, dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada listrik konvensional yang dikenai pajak lebih tinggi.
Efek domino dari penerapan pajak listrik juga perlu diantisipasi. Pemerintah dapat memberikan insentif dan fasilitas untuk menjaga kestabilan ekonomi dan mendorong kegiatan investasi. Insentif dapat diberikan melalui program subsidi atau program pelatihan kepada pelaku usaha, untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan kebijakan pajak listrik yang baru. Dengan pendekatan yang holistik, dampak negatif dapat diminimalkan, sementara manfaat jangka panjang bagi keberlanjutan energi dan lingkungan dapat tercapai.
Subsidi Listrik vs Pajak Listrik: Benarkah Pemerintah Memberi Insentif untuk Menarik Pajak Lebih Banyak?
Mulai 1 Januari 2025, pemerintah memberlakukan kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan rumah tangga dengan daya terpasang hingga 2.200 VA. Dalam hal ini, apabila pelanggan listrik prabayar membeli dengan nominal sebesar Rp100.000,00 misalnya, maka akan mendapat jumlah kWh yang setara dengan pembelian nominal sebesar Rp200.000,00. Kebijakan ini akan berlaku selama dua bulan, yaitu Januari s.d. Februari 2025, dan menyasar pelanggan rumah tangga, terutama dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Diskon ini akan diberikan secara otomatis; bagi pelanggan pascabayar, potongan 50 persen akan terlihat pada tagihan listrik bulanan, sementara pelanggan prabayar akan menerima diskon saat pembelian token listrik, sebagaimana diilustrasikan di atas.
Langkah ini diambil sebagai kompensasi pengenaan pajak listrik dan PPN dengan tarif 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dan memastikan akses energi yang terjangkau di tengah perubahan kebijakan perpajakan. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk menjaga kestabilan perekonomian, di mana masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang rendah tidak akan memikul pajak melebihi kapasitas mereka. Pemerintah juga mendorong produktivitas rumah tangga serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk berkembang melalui keterjangkauan akses listrik.
Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.
Comments