in ,

Dilema Wajib Pajak dalam mencari keadilan pada Upaya Hukum Keberatan dan Banding

Upaya Hukum Keberatan dan Banding
FOTO: TAXPRIME

Dilema Wajib Pajak dalam mencari keadilan pada Upaya Hukum Keberatan dan Banding

Apakah para pelaku usaha pernah dihadapkan dengan posisi yang serba salah ketika akan melakukan Upaya hukum ? jika pernah tentunya hal ini sangat mempengaruhi keberlangsungan usaha, jika belum pernah semoga kalian tidak pernah mengalami posisi tersebut. Berikut pandangan Saya sebagai penulis atas pengenaan sanksi berupa denda pada proses Upaya Hukum Keberatan dan Banding Pajak.

Pada aturan terbaru UU HPP sanksi berupa denda telah direvisi yang tadinya 50% di tahap keberatan menjadi 30% dan yang tadinya 100% di tahap banding menjadi 60%. Dengan diturunkannya sanksi berupa denda tersebut tentunya ada sedikit angin segar bagi Wajib Pajak yang sedang bersengketa, namun secara substansi menurut saya berapa pun persentasenya tidak menjadi topik pembahasan pada artikel ini, melainkan mengenai pantas atau tidaknya pengenaan sanksi berupa denda ini.

Tujuan utama Pelaku Usaha adalah mendapatkan keuntungan. Pelaku usaha sebagai Wajib Pajak tentunya mempunyai beragam persentase margin keuntungan yang diharapkan. Tidak sedikit usaha yang mempunyai margin besar yaitu 30% atau lebih dari total biaya namun diimbangi dengan resiko usaha dan modal yang tinggi. Kemudian tidak sedikit juga usaha yang mempunyai margin kecil yaitu sekitar kurang dari 5% dari total biaya sehingga harus bertarung dalam quantitas penjualan produk. Lalu apa jadinya jika usaha yang mempunyai margin kecil tersebut harus dihadapkan dengan resiko sanksi perpajakan yang bisa jadi lebih besar daripada marginnya.

Berdasarkan PMK 17 2013 s.t.d.t.d PMK 18 2021 “temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”. Aturan di atas tentunya tidak selalu dapat terlaksana sebagaimana mestinya jika dilihat dari sudut pandang subjektif Wajib Pajak. Tidak sedikit Wajib Pajak yang menganggap kalau hasil pemeriksaan pajak tidak didasarkan bukti yang kompeten dan aturan perpajakan yang berlaku. Memang Aturan perpajakan membuka pintu kepada Wajib Pajak untuk melakukan Upaya hukum lanjutan jika tidak setuju atas hasil pemeriksaan, namun keberhasilan dalam Upaya Hukum sengketa pajak adalah hal yang dipengaruhi banyak faktor.

Baca Juga  Perda Baru! Ini Tarif dan Cara Hitung Pajak Rumah Kos di Jakarta

Tidak jarang ditemukan koreksi Pemeriksaan Pajak dengan nominal yang cukup mencengangkan, bahkan beberapa Dasar Pengenaan Pajaknya bisa mencapai 40 s.d 50 % dari omset Wajib Pajak. Secara ringkasnya jika tarif PPh Badannya 25%, maka pajak terutangnya adalah kisaran 10% s.d 12,5% dari omset. Jika ditambah dengan sanksi yang masih 2% perbulan maka total pajak yang masih harus dibayar dapat mencapai 15% dari omset Wajib Pajak. Bagaimana mungkin seorang pelaku usaha yang hanya mempunyai margin kurang dari 5% namun harus membayar pajak yang belum tentu substansi kebenarannya sebesar 15 % dari omset.

Berikut beberapa pertanyaan yang dapat menggambarkan kondisi yang dihadapi Wajib Pajak :

Apakah seluruh hasil pemeriksaan pajak selalu berdasarkan bukti yang kompeten dan aturan perpajakan yang berlaku ? jawabannya tidak selalu.

Apakah Koreksi Pemeriksaan Pajak yang tidak didasarkan bukti yang kompeten dan aturan perpajakan yang berlaku akan selalu dibatalkan dalam permohonan keberatan atau banding? jawabannya tidak selalu.

Apakah Wajib Pajak akan selalu mempunyai bukti yang cukup dan argument yang kuat untuk mengajukan Keberatan dan Banding atas Koreksi Pemeriksaan Pajak yang tidak didasarkan bukti yang kompeten dan aturan perpajakan? Jawabannya tidak selalu.

Baca Juga  DJBC: Target Penerimaan Bea dan Cukai Meningkat Dalam 10 Tahun Terakhir

Apakah setiap Wajib Pajak akan selalu mempunyai kemampuan  untuk membayar jumlah Pajak yang masih harus dibayar di dalam Surat Ketetapan Pajak ? jawabannya tidak selalu.

Dari jawaban-jawaban di atas dapat diketahui bahwa akan ada kondisi dimana terdapat Wajib Pajak yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar Pajak terutang  di SKP namun harus mengajukan keberatan dan banding atas temuan hasil pemeriksaan yang tidak berdasarkan bukti yang kompeten. Kemudian karena beberapa faktor Wajib pajak tersebut kalah dalam proses keberatan dan banding, faktor tersebut dapat berupa pencatatan yang kurang rapih, perbedaan pandangan yuridis, maupun bukti yang tidak cukup kuat. Hal ini tentunya semakin memperburuk posisi dari Wajib Pajak karena selain harus membayar Pajak terutang pada SKP juga harus membayar sanksi denda 30% atau 60% tambahan dari pajak yang masih harus dibayar.

Hal ini membuat ketidaksetaraan resiko yang dihadapi wajib pajak ketika akan melakukan upaya hukum dan masuk pada proses peradilan. Bagi  Wajib Pajak yang mempunyai cashflow yang cukup tentunya dapat menghindari resiko sanksi denda 30% atau 60%. Namun beda cerita dengan Wajib Pajak yang memiliki kesulitan cashflow, karena dapat menjadi bom waktu pada saat memperjuangkan haknya dalam Upaya hukum keberatan dan banding yang belum tentu dimenangkan. Tentunya ini juga tidak sejalan dengan proses peradilan yang seharusnya terlaksana minim biaya, karena seakan-akan untuk mengamankan posisi Wajib Pajak dari resiko sanksi 30% atau 60% Wajib Pajak harus membayar penuh Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak sebelum mengajukan surat keberatan.

Baca Juga  Mayoritas Harga Patok Ekspor Komoditas Pertambangan Naik Harga per Oktober 2024

Menurut Pasal 25 ayat (8) UU KUP pajak yang belum dibayar pada saat mengajukan keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak. Artinya Pajak yang masih dalam proses sengketa keberatan dan banding belum menjadi Wajib Bayar bagi Wajib pajak, sehingga tidak relevan jika kalah dalam pengajuan keberatan dan banding harus dikenakan sanksi 30% dan 60%. Seharusnya pengenaan sanksi pasal 13 ayat (2) atas hasil pemeriksaan telah menjadi hukuman yang cukup bagi Wajib Pajak tanpa harus ditambah dengan resiko sanksi denda 30% dan 60%.

Apabila Wajib Pajak mengajukan Upaya hukum keberatan sampai dengan Putusan Banding, maka bisa memakan 3 tahun ataupun lebih. Artinya ketika harus membayar penuh nilai SKP untuk menghindari sanksi 30% dan 60%, Wajib pajak dihadapkan dengan resiko cashflow yang tertangguh sampai dengan 3 tahun atau lebih. Seringkali nominal untuk membayar penuh nilai SKP dapat menjadi tambahan modal ataupun biaya operasional Usaha Wajib Pajak. Di sisi Lain Direktorat Jenderal Pajak tidak menanggung resiko penambahan pengembalian pajak yang telah dibayar sebesar 30% dan 60% jika mengabulkan Keberatan Wajib Pajak ataupun kalah dalam proses Banding. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan hukum antara posisi Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak pada Upaya Hukum Keberatan dan Banding. Dengan demikian menurut Saya pengenaan Sanksi denda 30 % dan 60% tidak menerapkan asas Keadilan dan asas ringan biaya Bagi Wajib Pajak yang akan melakukan Upaya Hukum Keberatan dan Banding.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

107 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *