Menu
in ,

Penambang Kripto Harus Gunakan Energi Baru Terbarukan

Elon Musk Penambang Kripto Harus Gunakan Energi Baru Terbarukan Untuk Transaksi

FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Tesla kembali membuat pasar mata uang kripto bergejolak setelah Elon Musk mengunggah tweet mengenai keputusan perusahaannya menghentikan transaksi pembayaran atas pembelian mobil dengan bitcoin. Alasan Musk karena terjadi peningkatan penggunan bahan bakar fosil untuk proses penambangan aset kripto.

Univesitas Cambridge juga merilis soal lonjakan penggunaan listrik akibat proses penambangan bitcoin. Namun, Elon Musk mengatakan, Tesla tidak akan menjual bitcoin yang saat ini dimiliki oleh perusahaan. Sebagai informasi, saat ini produsen mobil listrik itu telah memiliki bitcoin senilai 2,5 miliar dollar AS.

Musk menegaskan, bakal kembali menyediakan pilihan pembayaran dengan bitcoin bila aset kripto itu telah bergeser menggunakan energi yang lebih berkelanjutan.

Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen juga mengatakan, banyak potensi kejahatan digital dan penggunaan listrik yang besar dalam penambangan kripto.

“Saya pikir bitcoin tidak digunakan secara luas sebagai sebuah mekanisme transaksi. Dalam penggunaannya sejauh ini, saya khawatir kerap kali digunakan untuk penggelapan uang. Selain itu (bitcoin) tidak efisien untuk ditransaksikan, serta jumlah energi yang dikonsumsi untuk memproses transaksi tersebut sangat besar,” kata Yellen.

Untuk memahami penggunaan energi atau konsumsi listrik dari bitcoin, perlu dipahami pula teknologi yang digunakan untuk menambangnya, yakni blockchain. Transaksi bitcoin memiliki sistem yang terdesentralisasi. Artinya, transaksinya tidak diatur oleh otoritas apapun.

Selain itu, para penambang bitcoin harus memiliki komputer khusus untuk menyelesaikan algoritma rumit agar transaksi bitcoin bisa terjadi. Penambang bitcoin pun tak bisa mendapatkan mata uang kripto itu secara gratis. Modal yang digelontorkan untuk mendapat perangkat khusus cukup besar. Setelah menyelesaikan algoritma rumit, para penambang baru akan mendapatkan beberapa keping bitcoin. Pertimbangan mengenai konsumsi listrik bitcoin serta dampak lingkungannya sebenarnya cukup rumit.

Sebesar 75 persen proses penambangan bitcoin dilakukan di Tiongkok. Sebab, di sana harga listrik cenderung murah dan dekat dengan akses produsen perangkat keras yang dibutuhkan untuk melakukan proses penambangan. Pembangkit listrik di Tiongkok pun sebagian besar masih menggunakan batu bara. Studi yang dilakukan oleh para peneliti Tiongkok menunjukkan, jejak karbon bitcoin setara dengan yang ada di 10 kota besar.

Data Cambridge Bitcoin Electricity Consumption Index dari Universitas Cambridge  menunjukkan, konsumsi listrik bitcoin mencapai 151,16 terrawatt-hour (TwH) dalam setahun. Jumlah itu lebih tinggi ketimbang konsumsi listrik Malaysia dan Mesir dalam setahun. Sebagai perbandingan juga, penjualan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke seluruh rakyat Indonesia pada kuartal III-2020 sebesar 181,6 Twh.

Namun, di sisi lain, pihak industri kripto mengklaim, bahwa para penambang diberi insentif untuk melakukan penambangan dengan sumber energi terbarukan. Sebelumnya bulan lalu, perusahaan fintech pendiri Twitter Jack Dorsey Square mengeluarkan memo yang mengklaim bitcoin akan mendorong inovasi energi terbarukan.

Di Indonesia, kripto sebagai alat investasi juga tengah berkembang pesat. Maka dari itu, dalam waktu dekat pemerintah bakal mendirikan bursa kripto. Di sisi lain, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih 19,5 persen dari target. Namun, Indonesia memiliki potensi EBT berlimpah, yaitu berasal dari samudera, panas bumi, bioenergi, bayu, hidro, dan surya. Potensi EBT Indonesia mencapai 417 gigawatt.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version