in ,

Sri Mulyani Soroti Nasib Ekonomi Global: Eropa Stagnan, Cina dan India Hadapi Tantangan Berat

Sri Mulyani Ekonomi Global
FOTO: IST

Sri Mulyani Soroti Nasib Ekonomi Global: Eropa Stagnan, Cina dan India Hadapi Tantangan Berat

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberikan pandangan tentang kondisi ekonomi global yang diwarnai stagnasi di Eropa, tantangan struktural di Cina, dan pertumbuhan tinggi India yang dibayangi inflasi.

Menurutnya, Eropa saat ini masih berada dalam kondisi stagnan dengan inflasi yang terus melambung, sehingga menekan perekonomian negara-negara di kawasan tersebut. “Untuk Eropa, perekonomiannya masih relatif stagnan, rendah, dan terus bertubi-tubi dihadapkan pada masalah geopolitik maupun dalam kondisi di dalam negeri masing-masing demokrasinya,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, di Kompleks Parlemen Jakarta, pada Rabu (13/11).

Sri Mulyani mencatat, inflasi di Eropa telah turun ke level 2 persen, yang meskipun terkesan rendah, tetap menjadi tantangan bagi Eropa yang sebelumnya pernah mengalami deflasi atau inflasi nol. “Sebelum kenaikan inflasi pada 2022, inflasi di Eropa sempat nol bahkan deflasi, dan sekarang di level 2 persen dianggap tinggi untuk track record European economy,” ungkapnya.

Baca Juga  PropertyGuru Asia Property Awards Grand Final ke-19, Tampilkan Lebih dari 130 Pengembang Terkemuka

Menurutnya, European Central Bank (ECB) sendiri telah menaikkan suku bunga menjadi 3,4 persen untuk merespons lonjakan inflasi sebelumnya yang sempat mencapai double digit.

Situasi yang sama juga terjadi di Inggris, di mana inflasi yang tinggi mendorong Bank of England untuk menaikkan suku bunga menjadi 4,75 persen. Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga ini kemungkinan masih akan bertahan sampai kuartal ketiga dan keempat karena tekanan inflasi belum sepenuhnya mereda.

“Lingkungan suku bunga tinggi masih akan dirasakan sampai kuartal ketiga dan keempat, karena mereka belum melakukan pemangkasan suku bunga,” jelas Sri Mulyani.

Sementara itu, ekonomi Cina atau Tiongkok, yang merupakan ekonomi terbesar kedua dunia, tengah berjuang untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen. Krisis sektor properti, utang pemerintah daerah, serta restrukturisasi ekonomi yang belum selesai, menurut Sri Mulyani, menghambat kinerja ekonomi Cina.

Baca Juga  Menko Airlangga Tegaskan PSN di PIK 2 Hanya Kawasan “Ecotourism Tropical Coastland”

Bank Sentral Tiongkok telah mengumumkan stimulus moneter pada akhir September, namun pasar belum merespons positif karena stimulus yang dibutuhkan sebenarnya adalah dari sisi fiskal. “Untuk stimulus fiskalnya dengan size katanya diumumkan Rp 10 triliun, namun dalam hal ini implementasinya masih remain to be seen,” jelasnya.

Selain itu, peningkatan ekspor Cina pada bulan Oktober lalu dikhawatirkan dapat memicu ketegangan politik dagang dengan negara-negara mitra dagangnya. Situasi ini, menurutnya, bisa memperburuk hubungan perdagangan global di masa mendatang.

India, yang saat ini menjadi salah satu pasar berkembang dengan pertumbuhan tertinggi, menghadapi tantangan inflasi di level 5,5 persen. “India mengalami inflasi yang relatif tinggi yaitu di 5,5 persen, dan dalam hal ini Research Bank of India kemungkinan belum akan memotong suku bunganya,” jelas Sri Mulyani.

Di kawasan Asia Tenggara atau ASEAN, sejumlah negara berhasil menunjukkan pemulihan ekonomi yang baik. Namun, di Timur Tengah, konflik yang melibatkan Gaza, Lebanon, Iran, dan Israel diperkirakan akan meningkatkan ketegangan geopolitik. Hal ini, kata Sri Mulyani, berdampak pada ketidakpastian harga komoditas hingga tahun 2025.

Baca Juga  Pemerintah Pastikan Inflasi Pangan Akhir Tahun Tetap Terjaga

Environment global yang seperti ini menggambarkan volatility dari komoditas masih akan kita expect berlangsung sampai 2025, perdagangan akan mengalami protectionism dan tension atau trade war yang diperkirakan juga akan meningkat tinggi dan ini pasti mempengaruhi kinerja dari industri manufaktur yang merupakan bagian dari supply chain,” imbuhnya.

Situasi ekonomi global yang dinamis ini, lanjutnya, turut mempengaruhi kebijakan fiskal di banyak negara. Menurutnya, banyak negara kini menghadapi dilema fiskal, terutama dengan posisi utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin tinggi. “APBN di masing-masing negara harus bekerja sangat kuat, namun banyak negara posisi fiskalnya tidak dalam situasi bagus karena debt to GDP ratio sudah relatif tinggi,” tandasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *