in ,

Prabowo Targetkan 60 Persen Pembangkit Listrik Indonesia dari Energi Hijau pada 2035

Prabowo Targetkan 60 Persen Pembangkit Listrik
FOTO: IST

Prabowo Targetkan 60 Persen Pembangkit Listrik Indonesia dari Energi Hijau pada 2035

Pajak.com, Jakarta – Presiden terpilih Prabowo Subianto targetkan sekitar 60 persen sumber pembangkit listrik di Indonesia berasal dari energi baru terbarukan (EBT) pada 10 tahun mendatang.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu. Menurutnya, pemerintah bersama PT PLN (Persero) tengah menyusun Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2025-2035 dengan menargetkan sedikitnya 60 persen merupakan pembangkit listrik berbasis EBT dari total pembangkit.

“Saya mulai diperintahkan oleh Presiden Jokowi sama Presiden Pak Prabowo untuk mendetailkan, kita konversi RUPTL 2025-2035, 10 tahun kan, RUPTL itu minimum saya katakan 60 persen itu harus EBT,” kata Bahlil dikutip Pajak.com pada Jumat (27/9).

Baca Juga  APBN 2025 Jadi “Milestone” Indonesia Emas 2045, Ini Penjelasannya

Untuk meningkatkan porsi pembangkit berbasis EBT dalam RUPTL, jelas Bahlil, pemerintah tengah mengkaji secara komprehensif skema yang akan digunakan dengan tidak merugikan PLN, pengusaha Independent Power Producer (IPP), maupun tidak memberatkan negara jika akan memberikan subsidi. Karena capital expenditure (capex) dalam pembangunan pembangkit berbasis EBT sangat mahal.

Bahlil menyebutkan bahwa, untuk 1 MW pembangkit EBT, dana yang dikucurkan mencapai 6 juta dollar Amerika Serikat (AS), nilai tersebut mencapai 6 kali lebih besar apabila dibandingkan dengan pembangkit berbasis batu bara yang jauh lebih murah dengan nilai di bawah 1 juta dollar AS untuk 1 MW.

Menurut Bahlil, untuk mengambil jalan tengah permasalahan tersebut, pemerintah sedang meriset opsi yang sudah didiskusikan bersama antara pemerintah, PLN, dan pelaku usaha, dengan memberikan kontrak IPP bekerja sama dengan PLN selama 30 tahun, dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) yang akan diturunkan bertahap setiap 10 tahun.

Baca Juga  Pemerintah Bakal Tarik Utang Lebih Awal Rp 775,86 Triliun untuk APBN 2025 

“Kita tarik break even point-nya (IPP) itu 8 sampai 10 tahun. Setelah harganya tinggi, langsung turun perlahan-lahan. Jadi 10 tahun pertama, supaya ada perbankan yang membiayai pengusahanya hingga break even point, habis itu terus diturunkan, dan kontraknya 30 tahun. Jadi 10 tahun dia berusaha untuk mengembalikan modalnya 20 tahun dia menikmati hasilnya. Dan Alhamdulillah metode ini dapat diterima baik oleh pemerintah, PLN dan pengusaha. Dan konsep ini saya pikir win-win solution,” ujarnya.

Ia pun memberikan contoh skema penurunan harga BPP secara bertahap dalam setiap 10 tahun pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), sehingga ke depannya tidak akan memberatkan beban subsidi negara dan PLN sebagai penyedia jaringan listrik nasional.

Baca Juga  Pemerintah Kebut Revisi UU Migas untuk Dukung Investasi Migas di Era Transisi Energi

“Kalau tidak salah PLN itu menerima itu dalam peraturan kemarin saya sudah tanda tangani untuk 10 tahun pertama sekitar 9,5 sen untuk geotermal. Nanti bertahap 10 tahun, habis itu turun menjadi 7 sampai 7,3 sen. Habis itu diturunkan lagi. Supaya apa? PLN bisa dapat untung dan negara tidak diberikan beban,” pungkasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *