Menu
in ,

Pemerintah dan DPR Akan Rombak Postur APBN 2022

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus adaptif dan fleksibel menghadapi pelbagai tantangan yang dinamis. Semula tantangan berasal dari pandemi COVID-19, namun saat ini muncul tantangan yang berasal dari kondisi global, seperti inflasi akibat ketegangan di bidang politik dan operasi militer. Untuk itu, Pemerintah dan DPR akan rombak postur APBN 2022 dalam dua bulan ke depan.

“Sekarang tahun 2022 ancaman terbesar adalah inflasi, naiknya harga-harga. Jadi ini harus kita jaga, menggunakan beberapa instrumen APBN yang ada, termasuk di dalamnya subsidi,” ujar Sri Mulyani dalam program B-Talk, yang ditayangkan secara virtual, (11/5).

Ia menjelaskan, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2020—2021 mayoritas digunakan untuk mengatasi pandemi COVID-19, baik untuk vaksinasi, terapeutik, maupun meningkatkan belanja bantuan sosial. Sedangkan untuk tahun 2022, belanja PEN didominasi untuk bantuan sosial dalam bentuk bantalan subsidi untuk mengurangi dampak kenaikan harga.

“Shock yang begitu dahsyat yang berasal dari luar. Implikasinya nanti postur APBN-nya berubah. Dalam dua bulan ke depan, kita akan bicara dengan DPR lagi. Kita sudah bicara di sidang kabinet mengenai bagaimana postur 2022 ini akan bergerak, berubah. Strategi akan terus kita akan kalibrasi, sehingga ekonominya pulih—itu tetap kita jaga momentumnya dan instrumennya kita akan fleksibel,” ujar Sri Mulyani.

Ia mengungkapkan, faktor global yang berasal dari Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Tiongkok menjadi faktor utama yang menentukan kondisi perekonomian dunia tahun 2022 akan bertahan tumbuh positif atau sebaliknya.

“IMF (International Monetary Fund) sudah menurunkan pertumbuhan ekonomi tahun ini dari tadinya diproyeksikan 4,4 (persen) sekarang menjadi hanya 3,6 (persen). Saya sudah lihat beberapa laporan terakhir, bahkan sekarang proyeksinya lebih rendah dari 3,6, (persen) bisa sampai 3,4 (persen) bahkan 3,2 (persen),” urai Sri Mulyani.

Direktur Pelaksana Bank Dunia 2014—2016 ini kembali mengatakan, kontributor penurunan proyeksi ekonomi dunia berasal dari kondisi geopolitik Rusia dan Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga komoditas, energi, dan pangan, serta dampak perang lainnya. Kemudian, AS juga mengalami inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga yang memengaruhi pelemahan pertumbuhan ekonomi negara itu.

Selain itu, ada pula kebijakan bernama Zero Covid Tolerance di Tiongkok yang memberlakukan lockdown ketat setiap ditemukan kasus COVID-19. Hal ini berpengaruh terhadap permintaan dan kegiatan manufaktur di Tiongkok. Kebijakan lockdown juga terjadi di kota-kota yang merupakan produsen dan mesin ekonomi terbesar, seperti Shanghai. Alhasil, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Tiongkok kontraktif 47 persen.

“Jadi ekonomi (global) ini tidak statis. Kita akan lihat kuartal (satu), kuartal depan terjadi apa. Perang yang kemarin diumumkan oleh Presiden Putin apakah akan berhenti atau tidak belum pasti juga. Ini semuanya menimbulkan ketidakpastian pada semester kedua tahun ini,” ungkap Sri Mulyani.

Dengan ketidakpastian global itu, ia mengajak sektor swasta untuk membantu pemulihan ekonomi nasional dengan melakukan investasi. Sebab investasi di Indonesia tidak bisa hanya tergantung dari APBN.

“Meskipun APBN belanja modalnya untuk pembangunan infrastruktur, untuk berbagai belanja-belanja yang produktif, namun sebetulnya sumber investasi itu yang paling besar justru dari perusahaan atau swasta. Sektor swasta dapat mulai melakukan kegiatan produktif investasi, baik yang berasal pendapatannya sendiri maupun berasal dari kredit perbankan, pasar modal, serta dari penanaman modal di dalam negeri maupun luar negeri,” kata Sri Mulyani.

Ia melihat, sebenarnya perusahaan swasta sudah mulai meningkatkan kegiatan investasinya. Hal itu dapat dilihat dari penerimaan pajak sampai dengan bulan April 2022 yang tercatat positif.

“Mungkin untuk beberapa sektor tertentu belum, ya. Seperti yang hotel yang baru saja bangkit, tapi (sektor) manufaktur, perdagangan, bahkan transportasi yang tadinya sangat terpukul, mereka sudah mulai bangkit. Ini bagus karena berarti mereka mulai melakukan ekspansi usahanya lagi, kegiatan usaha, baik menggunakan yang disebut modal kerja maupun modal investasi,” ujar Sri Mulyani.

Indikator lainnya adalah permintaan dan pertumbuhan dari kredit investasi maupun kredit modal kerja tumbuh naik. Dalam catatan Sri Mulyani, kredit modal kerja sudah di atas 7 persen.

“Momentum pemulihan berasal dari perusahaan, baik karena dia (perusahaan) sudah punya profitabilitas dan profitnya tadi dipakai untuk usahanya naik lagi, atau dia pinjam di bank, atau dia menerbitkan surat utang atau melakukan IPO (Initial Public Offering). Ini semuanya mendapatkan dana untuk kemudian dipakai untuk investasi,” kata Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version