in ,

Pemerintah Buka Suara Terkait Mangga Dua yang Disebut USTR Jadi Pusat Barang Bajakan

Pemerintah USTR
FOTO: IST

Pemerintah Buka Suara Terkait Mangga Dua yang Disebut USTR Jadi Pusat Barang Bajakan

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia akhirnya merespons laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers tahun 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Dalam laporan tersebut, kawasan perdagangan Mangga Dua, Jakarta, disebut sebagai salah satu pusat peredaran barang bajakan yang mengganggu akses pasar bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS).

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan bahwa sebagian besar barang bajakan di pasar domestik Indonesia merupakan hasil impor, baik melalui skema impor umum maupun jalur e-commerce yang memanfaatkan fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB). Untuk mengatasi hal ini, Kemenperin telah menginisiasi penerbitan regulasi yang mewajibkan importir memiliki sertifikat merek dari prinsipal sebagai syarat memperoleh rekomendasi impor.

Baca Juga  Perang Dagang Cina-AS Makin Panas, Menkeu Sri Mulyani Pastikan Posisi Indonesia Tetap Netral

“Kemenperin telah menerbitkan Permenperin No. 5 Tahun 2024 yang mensyaratkan importir harus memegang sertifikat merek dari pemegang merek ketika mereka meminta Pertek (Pertimbangan Teknis) sebagai bagian pemenuhan syarat PI (Permohonan Impor) Kemendag. Tujuannya, adalah menyaring dan mencegah agar barang bajakan tidak diimpor masuk ke pasar domestik Indonesia,” jelas Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief, dikutip Pajak.com pada Rabu (23/4).

Namun, keberadaan Permenperin tersebut tidak berlangsung lama. Febri menyebutkan bahwa regulasi tersebut tidak mendapat dukungan dari beberapa kementerian/lembaga (K/L) lain dan akhirnya gugur karena Permendag No. 36 Tahun 2024 yang menjadi landasan hukumnya diubah menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024. Alhasil, importir kini tidak lagi diwajibkan menyertakan sertifikat merek dari prinsipal saat mengajukan izin impor.

Baca Juga  Kekayaan Danantara Bisa Tembus 1 Triliun Dolar AS, Prabowo Beri Arahan Ini untuk 1.500 Pimpinan BUMN

“Sayangnya Permenperin No. 5 Tahun 2024 tersebut berumur pendek dan tidak berlaku lagi karena Permendag No. 36 Tahun 2024 sebagai dasar terbitnya regulasi tersebut tiba-tiba diubah oleh kantor K/L lain menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024 pada bulan Mei 2024,” ujar Febri.

Menurut Kemenperin, pemberantasan barang bajakan seharusnya difokuskan pada tahap awal, yakni mencegah masuknya barang ke pasar domestik melalui penguatan regulasi. Penindakan di pasar lokal dinilai tidak efektif karena volume barang sangat besar, dan proses hukum membutuhkan delik aduan yang sulit dipenuhi karena banyak prinsipal berada di luar negeri.

“Bagaimana mungkin menindak barang bajakan yang sudah beredar dalam volume besar di pasar domestik yang besar ini? Apalagi kalau hal tersebut harus dengan delik aduan? Bukankah lebih baik mencegah barang bajakan masuk lewat regulasi impor atau kebijakan non-tariff barrier/non-tariff measure daripada mengawasinya di pasar domestik?” tegasnya.

Baca Juga  Komdigi Bantah Batasi Promo Bebas Ongkir “E-Commerce”, Ini Penjelasannya!

Febri juga menyinggung lemahnya pengawasan terhadap barang bajakan yang masuk melalui e-commerce dan PLB. Ia mempertanyakan efektivitas pengawasan di sektor ini dan menyoroti belum adanya tindakan nyata terhadap pelanggaran yang terjadi di platform daring tersebut.

Meski demikian, Kemenperin mencontohkan praktik baik dalam penanganan barang ilegal di sektor Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT). Kebijakan registrasi IMEI yang diterapkan bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terbukti berhasil menekan peredaran smartphone ilegal. Kebijakan tersebut mengharuskan importir menunjukkan sertifikat merek saat mengajukan permohonan IMEI, dan hasilnya, peredaran smartphone ilegal kini menurun drastis.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *