Menu
in ,

Pemerintah-Asosiasi Fintech Dongkrak Inklusi Keuangan

Pajak.comBali – Pemerintah dan asosiasi fintech sepakat untuk terus mendongkrak inklusi keuangan sekaligus meningkatkan literasi keuangan digital, agar semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan fintech dan menyambut masa depan fintech. Hal itu menjadi pembahasan utama di hari terakhir The 3rd Indonesia Fintech Summit (IFS) 2021 di Nusa Dua, Bali, pada Minggu (12/12).

Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengungkapkan, sektor keuangan digital akan tumbuh delapan kali lipat di 2030, dari sekitar Rp 600 triliun menjadi Rp 4.500 triliun. Untuk itu, ia meminta agar semua pemangku kepentingan terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan asosiasi untuk berperan aktif menciptakan kebijakan yang afirmatif.

“Kita ingin bersama-sama memajukan industri ekonomi dan keuangan digital yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Upaya-upaya ini tidak lain untuk menyambut perkembangan fintech di masa depan,” katanya.

Ma’ruf memandang, inklusi keuangan digital yang ditunjang oleh literasi keuangan yang memadai bisa menjadi indikator pemahaman masyarakat terhadap fasilitas maupun risiko produk dan layanan fintech. Apalagi, fintech terbukti berkontribusi positif dan mampu membawa Indonesia memimpin ekonomi digital di Asia Tenggara, bahkan dunia.

Mengamini hal itu, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengungkapkan bahwa BI, pemerintah, serta para pelaku usaha terus bersinergi mendorong upaya digitalisasi UMKM secara end-to-end di berbagai aspek. Di antaranya, meningkatkan produktivitas, memperluas akses pemasaran melalui onboarding, dan memanfaatkan transaksi pembayaran digital untuk menciptakan UMKM yang berdaya saing dan berkelas melalui QRIS.

Apalagi, QRIS saat ini telah dimanfaatkan oleh 13,4 juta merchant di seluruh Indonesia, dan 95 persennya merupakan UMKM. Di sisi lain, BI juga telah menyusun kerangka kerja Kebijakan Pengembangan UMKM BI yang bertujuan mendorong UMKM Indonesia agar memiliki daya saing melalui program UMKM Go Digital.

“Bank Indonesia juga telah memiliki beberapa detail program digitalisasi UMKM yang disusun secara end-to-end untuk mengakselerasi inisiatif Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI),” imbuh Destry.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengemukakan, pada 2019 Indeks Literasi Keuangan baru mencapai 30,03 persen dan Indeks Inklusi Keuangan mencapai 76,19 persen. Angka ini berbanding jauh dari Singapura di angka 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen.

Untuk itu, OJK telah menginisiasi akselerasi Transformasi Digital Sektor Jasa Keuangan, yang tertuang dalam Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) 2021-2024 dan Roadmap & Action Plan Inovasi Sektor Jasa Keuangan 2020-2024.

“Sejak 2021, OJK telah menyiapkan sejumlah inisiatif strategis untuk menghadapi berbagai perkembangan dan tantangan di sektor jasa keuangan. Salah satu yang menjadi prioritas adalah percepatan digitalisasi serta optimalisasi ekosistem digital, dan peningkatan literasi digital,” ujarnya.

Selain itu, Nurhaida juga menyoroti perkembangan pada sektor teknologi, terutama dengan pemanfaatan aplikasi big data dan artificial intelligence yang memunculkan berbagai produk dan model bisnis baru, antara lain hadirnya Bigtech, Neo Bank, lifestyle center dan super apps.

“Perkembangan pada sektor teknologi menyadarkan kami bahwa terdapat tiga isu utama yang perlu menjadi perhatian regulator dalam membawa transformasi digital ke depan, yaitu integrasi; disrupsi; dan kapasitas antara fintech, regulator, dan pelaku dari berbagai sektor ekonomi,” sambungnya.

Menguatkan hal itu, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi menuturkan, pihaknya akan terus mendorong upaya untuk meningkatkan inklusi keuangan dan literasi masyarakat Indonesia. Namun, tantangan terbesar sektor pendanaan bersama alias peer-to-peer lending adalah isu pinjaman on-line (pinjol) ilegal.

“Secara agregat, pinjaman yang sudah disalurkan per Oktober 2021 mencapai Rp 272,4 triliun. Dengan angka ini, masih ada kebutuhan pendanaan yang mencapai Rp 1.600 triliun yang belum dapat terlayani. Artinya, potensi fintech pendanaan bersama masih terbuka lebar,” terangnya.

Mengingat hal ini, lanjut Adrian, AFPI akan turut melakukan reformasi terhadap layanan pengaduan agar semakin responsif, serta menambah komponen sumber daya manusia (SDM) internal, terutama berkaitan pengawasan kode etik.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version