Menu
in ,

OJK Bangun Pusdafil Guna Perkuat Pengawasan

Pajak.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membangun pusat data fintech lending (pusdafil) sebagai upaya memperkuat pengawasan. Saat ini sudah ada 102 perusahaan fintech lending yang terintegrasi dalam pusdafil.

Sebagai informasi, OJK menetapkan definisi bahwa fintech lending merupakan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (LPMUBTI) dengan mekanisme transaksi melalui aplikasi atau website.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) OJK Riswinandi menjelaskan, melalui pusdafil OJK bisa mengawasi segala transaksi yang dilakukan oleh pelaku industri, meliputi pengawasan limit pinjaman, tingkat keberhasilan penyaluran pinjaman, dan kepatuhan wilayah penyaluran pinjaman.

“Progresnya, saat ini sudah ada sekitar 102 perusahaan yang terkoneksi, terintegrasi dengan pusdafil. Tentunya integrasi ini terus kita lanjutkan supaya pelaku industri bisa melakukan pengecekan data-data sebelum melakukan pencairan dana kepada nasabahnya. Diharapkan dengan hadirnya sistem pengawasan ini nantinya dapat semakin memperkuat pengawasan fintech lending legal yang berizin dari OJK,” kata Riswinandi dalam webinar Dialog Kebangsaan Series 3 bertajuk Pemberantasan Pinjaman Online Ilegal, pada (9/11).

Ia menyebutkan, per 25 Oktober 2021, jumlah fintech terdaftar dan berizin OJK sebanyak 104 fintech lending. Artinya, mayoritas pelaku fintech telah tergabung dalam pusdafil yang dibangun OJK itu.

Secara simultan, OJK juga gencar melakukan berbagai kegiatan untuk memberi literasi keuangan kepada masyarakat agar tidak terjebak fintech ilegal melalui sosial media; webinar atau kuliah umum, baik dilakukan oleh tim Edukasi Perlindungan Konsumen, Satgas Waspada Investasi, maupun dari Satuan Kerja Pengawas.

“Fenomena masih menjamurnya pinjol ilegal ini disebabkan karena tingkat literasi keuangan masyarakat di Indonesia masih rendah yakni sebesar 38,03 persen atau setengah dari indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Banyak sebagian dari masyarakat tersebut masuk ke dalam jebakan pinjol (pinjaman online) illegal dan harus menanggung beban, bahkan mendapat perlakuan yang mengarah kepada tindakan pidana. Maka kita lakukan terus upaya preventif,” jelas Riswinandi.

Di sisi lain, ia juga mengapresiasi Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang secara responsif memutuskan untuk memangkas bunga fintech lending sampai dengan 50 persen. Hal itu dilakukan karena Presiden Joko Widodo sempat menyebut bahwa bunga fintech lending terlalu tinggi.

“Diharapkan dengan turunnya bunga fintech legal ini dapat menarik minat masyarakat untuk menggunakan fintech legal dibandingkan dengan fintech illegal,” ungkap Riswinandi.

Sebelumnya, AFPI telah menetapkan rencana memangkas bunga 50 persen pada akhir bulan lalu. Bunga fintech lending untuk pinjaman produktif saat ini 16 persen-30 persen per tahun. Sedangkan bunga pinjaman konsumtif dibatasi 0,8 persen per hari dengan maksimal bunga dan biaya lainnya tidak lebih dari 100 persen—artinya, bunga, denda, dan biaya lainnya tidak melebihi utang pokok. Bunga pinjaman per hari akan turun 50 persen dari 0,8 persen menjadi 0,4 persen.

“Kami turunkan batas atas maksimal pinjaman bunga (per hari) kurang lebih 50 persen supaya fintech bisa lebih terjangkau, dengan skala ekonomis yang lebih murah,” kata Ketua Umum AFPI Adrian Asharyanto.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version