Menu
in ,

BKF Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2022

Pajak.com, Jakarta – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 berada di atas 5 persen. Optimisme itu ditopang oleh peningkatan konsumsi masyarakat seiring momentum Ramadan dan Idul fitri.

“Masih akan kuat sekalipun tidak akan setinggi periode yang sama di tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2021, kan, mencapai 7,1 persen karena low base effect dari kuartal II-2020. Ekonomi kuarta II-2020, sebenarnya masih di bawah level 2019 meski tumbuh tinggi. Pada kuartal II-2022, ekonomi sulit untuk kembali tumbuh di atas 7 persen. Tapi apakah bisa tumbuh di atas 5 persen? ini peluangnya cukup besar karena kita punya pent-up demand. Masyarakat punya banyak uang di bank, mereka sudah lama tidak beli kulkas, handphone, tidak jalan-jalan, sehingga kenaikan permintaan sangat besar,” jelas Febrio dalam webinar Indonesia Macroeconomic Updates 2022 bertajuk Dinamika Ekonomi Global dan Domestik Terkini, (4/4).

Menurutnya, fenomena itu terjadi karena daya beli masyarakat sempat tertahan selama dua tahun pandemi (2020–2021). Peningkatan konsumsi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya.

“Di tahun-tahun sebelumnya, pada 2011 dan 2012 ketika harga komoditas itu tinggi, belanja masyarakat juga tinggi. Ini yang menjadi optimisme kita bahwa kuartal II (2022) akan cukup kuat. konsumsi masyarakat juga akan meningkat berkat pencairan gaji ke-13 dan pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang disalurkan pada kuartal II (2022),” kata Febrio.

Optimisme pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 bakal didorong pula oleh pemulihan komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) lainnya, antara lain ekspor masih kuat dengan surplus neraca dagang yang saat ini sudah berjalan selama 22 bulan berturut-turut. Selain itu, investasi pun semakin pulih, tecermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang masih ekspansi.

Kendati demikian, ia menggarisbawahi, proyeksi itu dapat terjadi bila kondisi pandemi tetap terkendali. Pemerintah sangat berharap, masyarakat tetap disiplin protokol kesehatan sekaligus melakukan vaksinasi tahap kedua dan booster demi menekan jumlah kasus COVID-19 serta beragam pembatasan sosial.

Proyeksi positif pada kuartal II-2022 juga diyakini oleh ekonom sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Muhammad Chatib Basri. Pria yang karib disapa Dede ini berpandangan, ekonomi Indonesia akan semakin kuat di tahun ini. Meskipun, pertumbuhan ekonomi periode April–Juni tidak setinggi tahun lalu.

“Pemulihan itu akan sangat tergantung mobilitas. Kalau mobilitasnya kembali, aktivitas ekonominya more or less akan kembali. Jadi, saya enggak akan terlalu khawatir soal pertumbuhan ekonomi kuartal II (2022), kemudian ekspor dan konsumsinya juga relatif kuat,” kata Dede.

Apalagi, pemerintah telah memutuskan untuk menghapus Harga Eceren Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan dan menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng kepada 23 juta penerima, yang terdiri dari 20,5 juta rumah tangga dan 2,5 juta Pedagang Kaki Lima (PKL). Hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat dan menekan inflasi.

“Subsidi harga minyak goreng (kebijakan HET) lebih banyak dinikmati masyarakat menengah atas. Hal ini berbeda dengan penyaluran BLT yang penerimanya dibatasi hanya pada kelompok yang membutuhkan. Beban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), bahkan tidak begitu signifikan sekalipun jumlah penerima BLT naik sampai 40 juta keluarga. Dengan hitung-hitungan penyaluran BLT diberikan sebesar Rp 100 ribu per bulan selama tiga bulan, 40 juta keluarga itu hanya mengambil APBN sebesar Rp 12 triliun,” ujar Dede.

Di sisi lain, Menteri Keuangan periode Mei 2013–Oktober 2014 ini menilai, keputusan pemerintah menaikkan harga Pertamax di tengah kenaikan harga minyak dunia masih memberatkan APBN. Seperti diketahui, harga Pertamax naik menjadi Rp 12.500 per liter sejak 1 April 2022. Padahal, menurut hitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga keekonomian Pertamax sudah mencapai Rp 16.000 per liter. Sehingga PT Pertamina (Persero) harus tetap menanggung selisih harga jual, yakni sekitar Rp 3.500 per liter.

“Kalau Pertamina nombok, nanti malah bakalan datang (ke pemerintah), akan bilang kalau uangnya receivable tidak dibayar, akhirnya tidak bisa distribusi BBM (Bahan Bakar Minyak). Akhirnya, tetap subsidinya ditanggung oleh pemerintah,” tambah Dede.

Namun, bila harga Pertamax ditetapkan sesuai hitungan Kementerian ESDM sebesar ke Rp 16.000 per liter, Indonesia berpotensi besar mengalami inflasi yang tinggi. Belum lagi ada risiko lain, yakni masyarakat serentak pindah ke BBM subsidi Pertalite. Hal itu menyebabkan subsidi energi kembali meningkat, yang akhirnya semakin membebankan APBN.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version