Tantangan Penerapan Pendekatan Ex-Ante dan Ex-Post di Indonesia
Dalam praktik transfer pricing, transaksi antar pihak afiliasi harus diuji untuk memastikan bahwa harga yang ditetapkan mencerminkan kondisi pasar yang wajar. Pengujian ini penting untuk mencegah potensi pemindahan laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak lebih rendah (profit shifting). Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai kewajaran transaksi afiliasi, yaitu Ex-Ante dan Ex-Post.
Pendekatan Ex-Ante dan Ex-Post
Pendekatan Ex-Ante merupakan pengujian harga transfer yang dilakukan sebelum atau pada saat transaksi afiliasi dilakukan. Dalam pendekatan ini, informasi yang digunakan yaitu tidak hanya data terkait transaksi afiliasi yang sebanding pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi juga informas terkait faktor ekonomi dan informasi pasar (arm’s length price-setting).
Sedangkan pendekatan Ex-Post merupakan pengujian harga transfer yang dilakukan setelah transaksi afiliasi dilakukan. Pendekatan ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil aktual untuk menunjukkan bahwa harga transfer yang telah ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran. Informasi yang digunakan dalam pendekatan Ex-Post meliputi laporan keuangan yang telah diaudit dan data lainnya yang relevan (arm’s length outcome-testing).
Dasar Hukum Penerapan Pendekatan Ex-Ante dan Ex-Post
OECD Transfer Pricing Guidelines 2022 sebagai pedoman internasional, memperkenankan negara-negara anggotanya untuk menggunakan salah satu atau kedua pendekatan, yaitu Ex-Ante (paragraf 3.69) dan Ex-Post (paragraf 3.70) dalam penetapan harga transfer. Indonesia telah mengadopsi pendekatan Ex-Ante sesuai dengan ketentuan dalam PMK-213 Tahun 2016 Pasal 3 ayat (1), PMK-22 Tahun 2020 Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan PMK-172 Tahun 2023 Pasal 17 ayat (1), sebagai berikut:
“Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan Transaksi Afiliasi.”
Dengan demikian, jelas bahwa Indonesia menerapkan pendekatan Ex-Ante dalam penetapan harga transfer.
Tantangan Penerapan Pendekatan Ex-Ante di Indonesia
Meskipun peraturan di atas mengharuskan pengujian kewajaran transaksi afiliasi pada saat transaksi afiliasi dilakukan (Ex-Ante) dan bukan setelah terjadinya transaksi afiliasi (Ex-Post), pada praktiknya terdapat perbedaan pemahaman dan penerapan antara Wajib Pajak dan Otoritas Pajak yang memicu sengketa, antara lain penerapan pendekatan Ex-Ante pada:
- Laporan Keuangan yang Dilakukan Pengujian Kewajaran: Saat menyusun Dokumen Lokal untuk transaksi afiliasi, pengujian kewajaran dilakukan dengan menggunakan Laporan Keuangan. Apabila mengacu pada definisi dari Ex-Ante, maka Laporan Keuangan yang seharusnya diuji adalah Laporan Keuangan Anggaran yang tersedia pada saat terjadinya transaksi atau sebelum transaksi dilakukan, bukan Laporan Keuangan Aktual yang baru tersedia setelah terjadinya transaksi afiliasi (Ex-Post).
- Perusahaan Pembanding yang Digunakan untuk Menguji Kewajaran: Sementara itu, dalam hal pemilihan perusahaan pembanding yang sebanding, jika menerapkan konsep Ex-Ante maka data perusahaan pembanding yang digunakan untuk menguji kewajaran adalah data perusahaan pembanding yang tersedia pada saat terjadinya transaksi (biasanya 2 tahun sebelum tahun transaksi) dan bukan data yang tersedia setelah terjadinya transaksi atau pada tahun transaksi dan setelahnya (Ex-Post).
Berdasarkan penjelasan di atas, penerapan pendekatan Ex-Ante sesuai PMK-172 Tahun 2023 adalah melakukan pengujian kewajaran transaksi sebelum atau pada saat transaksi dilakukan yaitu dengan menggunakan Laporan Keuangan Anggaran (karena Laporan Keuangan Aktual belum tersedia) dan menggunakan data perusahaan pembanding yang relevan dan tersedia sebelum atau pada saat terjadinya transaksi afiliasi.
Namun, tidak adanya penjelasan lebih detail dan contoh bagaimana seharusnya penerapan pendekatan Ex-Ante ini dilakukan, seringkali menyebabkan perbedaan interpretasi antara Wajib Pajak dengan Otoritas Pajak. Dalam beberapa kasus, baik Wajib Pajak maupun Otoritas Pajak menguji transaksi menggunakan pendekatan Ex-Ante, sementara di kasus lain menggunakan pendekatan Ex-Post, dan juga menggunakan pendekatan keduanya yaitu Ex-Ante dan juga Ex-Post.
Ketidakpastian ini mengganggu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, yang akhirnya mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan ini.
Dampak Ketidakpastian Penerapan Pendekatan Ex-Ante
Ketidakpastian dalam penerapan pendekatan Ex-Ante dapat mempengaruhi wajib pajak dalam beberapa hal:
- Ketidakpastian dalam Penerapan Pendekatan: Tanpa petunjuk perhitungan dan contoh yang jelas, Wajib Pajak menghadapi kesulitan bagaimana untuk menerapkan pendekatan Ex-Ante yang tepat. Akibatnya, selama proses audit, Wajib Pajak tidak dapat memastikan apakah pendekatan Ex-Ante yang dilakukan telah sesuai dengan ekspektasi Otoritas Pajak.
- Potensi Sengketa: Perbedaan interpretasi dalam penerapan pendekatan Ex-Ante dapat menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dan Otoritas Pajak. Sengketa semacam ini, pada akhirnya, akan menambah biaya yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak, baik dalam bentuk biaya hukum, sanksi administrasi (sesuai ketentuan PMK-172 Tahun 2023 Pasal 28), maupun waktu yang terbuang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
- Menurunnya Iklim Investasi: Ketidakpastian ini tidak hanya menimbulkan potensi sengketa dan menambah biaya hukum serta administrasi, tetapi juga dapat menurunkan iklim investasi.
Kesimpulan
Dengan demikian, penerapan yang konsisten dan jelas dari pendekatan Ex-Ante dalam pengujian transaksi afiliasi sangat penting untuk memastikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk perhitungan dan contoh yang lebih rinci terkait penerapan Ex-Ante agar pengujian transaksi afiliasi dapat dilakukan secara benar.
Referensi:
- OECD. (2022). OECD Transfer Pricing Guidelines 2022.
- Pemerintah Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213 Tahun 2016.
- Pemerintah Republik Indonesia. (2020). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22 Tahun 2020.
- Pemerintah Republik Indonesia. (2023). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023.
Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.
Comments