Menu
in ,

Thailand Pertimbangkan Penundaan Pungutan PBB di 2022

Penundaan pungutan PBB thailand

FOTO: IST

Pajak.com, Thailand – Kementerian Keuangan Thailand tengah mempertimbangkan usulan dari sektor swasta untuk menunda serta mengurangi pengumpulan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada 2022. Menteri Keuangan Thailand Arkhom Termpittayapaisith mengungkapkan, hal ini ditengarai karena keadaan pelaku bisnis yang masih berjuang dengan pukulan ganda dari dampak pandemi dan invasi Rusia-Ukraina.

Pada tahun 2020, pemerintah Thailand mengeluarkan pemotongan PBB sebesar 90 persen untuk meringankan beban pemilik tanah dan bangunan karena dampak parah pandemi. Pemotongan pajak ini berlaku di sepanjang tahun 2020-2021, dan pihak Termpittayapaisith menolak untuk memperpanjangnya melewati tahun lalu.

Ia mengatakan telah menugaskan Kantor Kebijakan Fiskal (Finance’s Fiscal Policy Office/FPO) untuk melakukan analisis pengumpulan pajak setelah sektor swasta mengusulkan pajak itu ditunda dan dikurangi. Pemilik tanah biasanya harus membayar pajak ini pada bulan April. Beberapa pemerintah kota seperti Bangkok juga menunda pemungutan pajak dari April hingga Juli untuk meringankan kesulitan masyarakat.

Sebuah sumber Kementerian Keuangan mengatakan kepada Bangkok Post, mereka khawatir penundaan atau pemotongan pajak ini dapat memengaruhi pendapatan pemerintah daerah. Pasalnya, pengurangan pajak sebesar 90 persen selama 2020-2021 telah membebani pemerintah daerah secara total lebih dari 30 miliar baht (atau sekitar Rp 12,81 triliun) per tahun, dan pemerintah tidak dapat mencari pendapatan baru untuk mengimbangi kerugian.

Meskipun tahun ini pemilik tanah harus kembali membayar jumlah penuh, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan masih menawarkan diskon pembayaran tahun ini. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tahun 2020 dan menawarkan diskon pembayaran pajak untuk tiga tahun pertama pemberlakuan. Namun, tahun ini adalah tahun terakhir undang-undang menawarkan diskon.

Mengenai aturan diskon pajak, jika pemilik tanah dinilai pajak lebih tinggi dari jumlah yang dihitung berdasarkan pajak tanah sebelumnya, mereka diperbolehkan untuk membayar tarif pajak sebelumnya. Adapun setiap kelebihan jumlah di atas tarif pajak sebelumnya dikenakan 25 persen dari kelebihan pada tahun 2020, 50 persen dari kelebihan pada tahun 2021, dan 75 persen dari kelebihan pada tahun 2022.

Misalnya, pada tahun 2020 jika pembayar pajak harus membayar 120 baht di bawah undang-undang baru tetapi hanya 100 baht pajak di bawah sistem pajak lama, ini berarti mereka akan membayar total 105 baht. Perhitungan ini didasarkan pada pungutan 100 baht di bawah sistem pajak lama, ditambah 25 persen dari kelebihan 20 baht, yaitu 5 baht.

Sebelumnya, FPO telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Thailand di tahun 2022 menjadi 3,5 persen sebagai dampak invasi Rusia ke Ukraina. Padahal FPO sebelumnya telah memprediksi PDB 2022 di Negeri Penuh Senyum ini bakal mencapai 4 persen.

“Konflik antara Rusia dan Ukraina telah memengaruhi kepercayaan konsumen dan harga produk di negara tersebut,” kata Direktur Jenderal FPO Pornchai Thiraveja, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, invasi tersebut menyebabkan inflasi di Thailand, yang disebabkan oleh harga energi global yang lebih tinggi. Perang juga menyebabkan perlambatan ekonomi negara-negara mitra dagang utama, terutama di Eropa dan Amerika Serikat.

Lebih lanjut Thiraveja mengatakan, pertumbuhan ekonomi Thailand pada 2021 adalah 1,6 persen; sementara proyeksi PDB FPO saat ini didasarkan pada asumsi bahwa inflasi akan menjadi 5 persen pada tahun 2022. Hal ini bersamaan dengan ekspektasi harga minyak mentah global akan berada di sekitar 99,5 dollar AS per barel, naik 43,8 persen jika dibandingkan dengan harga tahun lalu.

Nilai tukar baht juga telah mencapai level terendah sejak lima tahun terakhir di 34,07 baht per dollar AS, dan FPO memperkirakan mata uang akan bertahan di sekitar 33,1 baht per dollar AS pada tahun 2022 karena mereka memperkirakan mata uang akan menguat menjelang akhir tahun.

Untuk pariwisata, FPO menghitung Thailand hanya akan menerima 6,1 juta turis asing pada 2022, naik dari 5,7 juta pada 2021. Perbedaan besar dari tingkat prapandemi ketika Thailand menyambut 39 juta orang pada 2019. FPO mengatakan pengeluaran pemerintah untuk investasi dan langkah-langkah stimulus akan mendukung perekonomian.

Namun, faktor risiko terus berlanjutnya perang di Ukraina yang akan memengaruhi harga energi, ketidakpastian seputar kemungkinan merebaknya varian COVID-19 baru, dan fluktuasi kebijakan moneter global yang dapat memengaruhi baht dan gangguan rantai pasokan seperti kekurangan semikonduktor di sektor automotif dan elektronik.

Hingga saat ini, pemerintah Thailand terus mempertimbangkan apakah harus mengucapkan selamat tinggal pada langkah-langkah stimulus ekonomi atau meneruskannya. Ketika Thailand melonggarkan lebih banyak tindakan yang ditujukan untuk mengatasi COVID-19—yang akan diklasifikasi ulang sebagai penyakit endemi pada bulan Juli, Thailand harus mulai beralih dari penyembuhan ekonomi dan mode stimulus yang telah ada selama dua tahun, bergerak menuju pemulihan ekonomi. Hal itu juga didorong oleh beberapa pengamat ekonomi dan peneliti di Thailand.

Mereka berpendapat, anggaran negara yang semakin berkurang perlu dibelanjakan dengan lebih bijak, setelah pemerintah Thailand menambah utang hingga 1,5 triliun baht tahun lalu sebagai bagian dari upaya mereka menangani dampak ekonomi dari pandemi. Pelaku bisnis pun setuju dengan perlunya upaya baru untuk mengatasi kesengsaraan ekonomi negara itu, tetapi mereka masih memandang paket stimulus sebagai alat yang diperlukan dalam jangka pendek.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version